Selama penelitian di lokasi ini, dirinya pun terkena malaria hingga koma berhari-hari.
"Dari empat orang tim peneliti yang ikut, dua orang terkena malaria dan sempat koma empat hari," ungkap Henti, peneliti yang fokus di aspek silvikultur, konservasi tumbuhan, dan keragaman genetik itu.
Baca Juga:
Mengungkap Rahasia Alam: Gempa Bumi Ternyata Kunci Pembentukan Bongkahan Emas
Dari hasil ekspedisi kedua itu, pohon keruing yang masuk dalam jenis meranti memiliki keunggulan dari kayunya yang sangat keras dan bisa hidup hingga ratusan tahun. Banyak yang dipakai untuk kusen rumah. Sejumlah warga lokal pun menjual kayu-kayunya ke pengepul.
"Memang pertumbuhannya lama, 30 tahun baru bisa menjadi pohon besar. Sampel yang kami ambil saja yang kami konservasi sejak 2013 pohonnya sekarang tingginya baru 2,5 meter. Karena rata-rata pertumbuhanya di alam itu hanya 0,7 cm per tahun," urai dia, yang juga peraih gelar Doktor dari Ehime University, Japan, itu.
Temuan yang terpenting, lanjut Henti, adalah nilai ekosistem pohon ini. Bahwa, pohon keruing yang besar di hutan menjadi habitat bagi flora dan fauna di alam.
Baca Juga:
Penelitian Ungkap Generasi X dan Milenial Berisiko Tinggi Alami Kanker
"Indukan pohon keruing sudah sedikit, kita berupaya memperbanyak, dan bisa reintroduksi kembali ke pulau tersebut. Karena di sana antropologic trap-nya juga tinggi," ujar dia.
"Sisi-sisinya sudah dibuka jadi kebun yang tadinya ada pohon [jadi] tidak ada, tinggal yang curam dan orang susah ambil," imbuh Henti.
Dalam melakukan pengambilan sampel keruing itu, Henti melakukannya dengan hati-hati agar tidak merusak ekosistem dan regenerasi pohon tersebut di alam liar.