WahanaNews.co, Washington DC - Para ilmuwan telah mengembangkan program kecerdasan buatan (AI) yang mampu mendeteksi tanda-tanda kehidupan entitas asing atau alien dalam sampel fisik.
Algoritme pembelajaran mesin tersebut telah dilatih menggunakan berbagai jenis sampel, termasuk sel hidup, fosil, meteorit, dan bahan kimia yang dibuat di laboratorium.
Baca Juga:
Baru-baru Ini Jasad Alien Betina Muncul di Meksiko, Ilmuwan Angkat Suara
Menurut penciptanya, AI ini memiliki kemampuan membedakan dengan tingkat akurasi sekitar 90 persen antara sampel yang memiliki sifat biologis dan yang tidak. Namun, cara kerja algoritma ini masih menjadi suatu misteri.
Para ilmuwan mengungkapkan bahwa alat baru ini dapat segera digunakan. AI akan menganalisis data dari batuan Mars yang telah dikumpulkan oleh rover Curiosity, memungkinkan identifikasi tanda-tanda kehidupan di planet tersebut.
Selain itu, AI juga berpotensi membantu mengungkap asal usul batuan misterius dan berusia kuno yang telah ditemukan di Bumi. Temuan ini telah diterbitkan dalam jurnal PNAS pada tanggal 25 September 2023.
Baca Juga:
Profesor Avi Loeb dari Harvard Janji Bakal Ungkap Jejak Alien Bulan Depan
"Hasil ini menunjukkan bahwa kita mungkin akan mampu menemukan bentuk kehidupan dari planet lain, mungkin dengan karakteristik yang sangat berbeda dari kehidupan yang kita kenal di Bumi," kata penulis utama studi ini, Robert Hazen, seorang ahli astrobiologi yang berasal dari Carnegie Institution for Science di Washington DC.
Hazen melanjutkan dengan mengatakan bahwa jika ditemukan tanda-tanda kehidupan di lokasi lain, ini akan memungkinkan para ilmuwan untuk menentukan apakah kehidupan di Bumi dan kehidupan di tempat lain memiliki asal usul yang sama atau berbeda.
Dengan kata lain, metode yang mereka kembangkan harus mampu mendeteksi karakteristik biokimia yang unik pada entitas alien, sekaligus juga dapat mendeteksi kehidupan di Bumi.
Penentuan biokimia entitas asing merupakan tantangan besar. Meskipun relatif mudah untuk mengidentifikasi tanda-tanda biomolekul kehidupan di Bumi, ilmuwan tidak bisa mengasumsikan bahwa kehidupan di luar Bumi akan menggunakan komponen seperti DNA, asam amino, dan sejenisnya.
Hazen menjelaskan, "Metode kami mencari pola distribusi molekuler yang muncul sebagai respons terhadap kebutuhan kehidupan akan molekul yang berfungsi."
Para ilmuwan telah mengamati bahwa dengan mencampur berbagai bahan kimia dan mengpaparkannya pada kondisi yang menyerupai laut purba, mereka dapat menghasilkan molekul organik seperti asam amino, yang merupakan bahan dasar untuk pembentukan protein yang sangat penting dalam kehidupan.
Mereka juga telah menemukan bukti adanya unsur-unsur ini pada meteor dan bahkan asteroid yang berada jauh di luar angkasa.
Namun, untuk membuktikan bahwa mereka telah menemukan kehidupan di luar Bumi, para peneliti harus dapat menjawab pertanyaan mendasar, yaitu: Bagaimana kita bisa memastikan bahwa objek yang kita temukan adalah hasil dari kehidupan atau terbentuk secara kebetulan melalui proses kimia di luar angkasa?
Karena molekul organik cenderung terdegradasi seiring berjalannya waktu, menjawab pertanyaan ini dengan kepastian merupakan tugas yang rumit bagi manusia. Oleh karena itu, peneliti telah mulai mengembangkan algoritma pembelajaran mesin untuk membantu menjawabnya.
Melansir Live Science, para ilmuwan memulai dengan menerapkan metode yang telah digunakan pada pesawat ruang angkasa NASA, yaitu pirolisis, yang merupakan proses pemanasan sampel tanpa udara untuk memisahkannya menjadi gas dan biochar.
Bagian dari sampel yang terurai kemudian disusun kembali menggunakan teknik yang disebut kromatografi, sebelum atom-atomnya diubah menjadi data melalui spektroskopi massa.
Dengan memasukkan data dari 134 sampel yang mengandung banyak karbon dan sumbernya sudah diketahui, algoritma pembelajaran mesin dapat membedakan antara produk kehidupan yang ada saat ini dengan benda-benda dari masa lalu seperti cangkang, gigi, tulang, batu bara, dan ambar.
Algoritma juga dapat membedakan senyawa organik yang berasal dari proses abiotik, seperti asam amino yang diciptakan di laboratorium. Tingkat akurasi yang dicapai mencapai 90 persen.
Sistem kecerdasan buatan ini sebagian besar berfungsi sebagai model kotak hitam, yang berarti kita hanya melihat bagaimana inputnya diterjemahkan menjadi outputnya tanpa memahami sepenuhnya proses internal yang terjadi di dalamnya.
Ini mengakibatkan ketidakpastian bagi peneliti terkait dengan cara sistem tersebut memberikan jawaban. Namun, peneliti menyatakan bahwa temuan ini memberikan bukti penting bahwa kimia kehidupan memiliki prinsip-prinsip dasar yang berbeda dari kimia non-kehidupan.
Jim Cleaves, penulis utama studi ini yang merupakan ahli kimia di Carnegie Institution for Science, menyatakan bahwa penelitian ini memiliki tiga implikasi utama.
Pertama, pada tingkat tertentu, biokimia berbeda dari kimia organik yang berasal dari proses non-kehidupan. Kedua, ilmuwan dapat menggunakan metode ini untuk memeriksa sampel dari Mars dan fosil-fosil purba di Bumi untuk menentukan apakah mereka pernah mengandung kehidupan.
Dan ketiga, metode baru ini dapat membantu dalam membedakan biosfer alternatif di Bumi, yang memiliki dampak penting bagi misi astrobiologi di masa depan.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]