WahanaNews.co, Jakarta - Ternyata, tidak semua individu dapat mengalami hipnosis.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Stanford, otak orang yang mudah terhipnotis memiliki perbedaan dengan orang yang tidak merespons hipnosis.
Baca Juga:
Dosen UNIAS Dihipnotis saat VCS, Diperas Rp25 Juta: Pelaku Ancam Sebar Video ke Medsos
Ketika kita mengamati orang yang sedang terhipnotis, kita dapat merasa kagum dengan fenomena ilmiah tersebut.
Hipnosis dapat diaplikasikan dengan dua tujuan utama, yang pertama adalah untuk melakukan tindakan kriminal dan yang kedua adalah untuk keperluan pengobatan.
Hipnosis yang dimaksud pertama kali biasanya disebut sebagai gendam atau hipnosis negatif. Gendam seringkali digunakan oleh pelaku kejahatan untuk menguasai alam bawah sadar calon korban, yang kemudian dapat dimanfaatkan untuk melakukan penipuan, pencurian, atau tindakan kriminal lainnya.
Baca Juga:
Viral VCS Oknum Dosen, Ini Penjelasan Universitas Nias
Sementara hipnosis yang kedua umumnya digunakan untuk tujuan pengobatan. Melalui hipnosis ini, pasien yang menjalani pengobatan dapat merasakan bantuan dalam mengendalikan stres atau meredakan rasa sakit pada bagian tertentu dari tubuh.
Ternyata tidak semua orang dapat dihipnotis. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Stanford, otak orang-orang yang mudah terhipnotis berbeda dengan orang yang tidak bisa dihipnotis.
Penelitian ini menggunakan data dari pencitraan resonansi magnetik untuk mengidentifikasi bagaimana area otak yang berhubungan dengan kontrol cenderung memiliki lebih sedikit aktivitas pada orang yang tidak dapat dihipnotis.