"BMKG tidak bisa sendiri karena BMKG lebih bekerja di arah hulu, ke teknologi, ke sistem yang memberikan peringatan dini," jelasnya.
"Ini kenapa kita ngomongin terus [soal megathrust] karena dia pada sadar, itu tidak mungkin hanya diserahkan kepada BNPB atau BMKG. Kami memfasilitasi, mengkoordinasikan, membimbing, tapi yang melaksanakan yang punya rakyat. Ini kan otonomi masing-masing," papar dia.
Baca Juga:
BMKG: Hari Raya Idulfitri, Waspada Hujan Lebat di Dua Hari Lebaran
Contohnya seperti di atas, yakni soal pemeliharaan sirine dan sistem peringatan dini bencana lainnya yang sudah dihibahkan ke pemda. Di samping itu, ada soal tata ruang, persyaratan bangunan, hingga jalur evakuasi.
"Jalur evakuasinya kadang-kadang ditutup dibangun warung, saya lihat sendiri. Lho jalur evakuasi kok jd WC umum, ada warung, rambu-rambunya lho. Ini mau evakuasi jalurnya kemana? Rambu-rambunya udah tidak ada, tapi tidak dipelihara," urai mantan Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) itu.
BMKG mengungkapkan bahwa beberapa pemerintah daerah telah menunjukkan kemajuan yang baik dalam mitigasi megathrust.
Baca Juga:
BMKG Peringatkan Ancaman Gelombang Tinggi di Perairan Banggai Saat Mudik Lebaran
"Ada yang sudah cukup baik, tetapi masih banyak yang perlu lebih siap," ujar Dwikorita.
Ia menyebutkan beberapa daerah yang telah melakukan mitigasi dengan baik, seperti DI Yogyakarta, Bali, dan Sumatra Barat.
Namun, Dwikorita menyoroti masalah yang muncul ketika terjadi pergantian kepala daerah. Pergantian ini sering kali menyebabkan ketidaksinambungan dalam program penanganan bencana yang sudah direncanakan sebelumnya.