Founder SMK Mbangun Desa, Marlock, mengatakan, faktanya SMK banyak berlokasi di desa dengan siswa, guru, kepala sekolah, dan orangtua yang juga berada di desa.
Karena program link and match senantiasa berorientasi pada industri yang umumnya banyak berada di kota, maka SMK di desa pun yang jauh dari akses dunia usaha dan industri tidak mampu keluar dari jebakan pemikiran tersebut.
Baca Juga:
Dikbud Sultra Gagas Program Tenun Masuk Sekolah untuk Lestarikan Warisan Budaya Daerah
Padahal, SMK di desa itu bagian dari infrastruktur desa dan bisa berkontribusi untuk bersama-sama desa mengembangkan industri desa, yakni usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
“Banyak SMK di desa yang kekurangan murid, terutama swasta. Padahal, banyak pula di sekitarnya anak-anak putus sekolah SMP. Hal ini karena SMK belum menyadari marwahnya di desa untuk bisa meyakinkan masyarakat bahwa lulusan SMK di desa tetap bisa produktif, tidak harus ke kota. Terbukti, saat pandemi Covid-19, banyak pengangguran lulusan SMK yang perusahaannya tutup lalu balik ke desa. Dari sinilah, SMK Mbangun Desa bisa jadi keunggulan SMK di masa depan,” kata Marlock, yang juga pendiri Forum Peduli Pendidikan dan Pelatihan Menengah Kejuruan Indonesia (FP3MKI).
Tidak salah ketika SMK sebagian besar berpikir tentang industri.
Baca Juga:
SMK Bima Utomo BS Dinilai Gagal, Siswa Dipaksa Mundur: Kemanakah Peran Dinas Pendidikan?
Namun, realitasnya banyak SMK di desa yang tidak bisa terhubung ke industri.
Selain itu, lulusan SMK juga tidak semua mau merantau ke luar desa/daerah, lalu jadi pengangguran di desa akibat tidak disiapkan untuk bisa hidup mandiri dan sejahtera di desa.
Saat ini ada 14.464 SMK dengan total sekitar lima juta siswa dan 85 persen di antaranya berada di desa.