WahanaNews.co | Sejumlah pemerhati pendidikan mengkritik hingga membantah
pernyataan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud-Ristek), Nadiem Makarim, yang mengaku telah melakukan sejumlah terobosan dalam bidang
pendidikan setelah hampir dua tahun menjadi menteri.
Awalnya, Nadiem menjawab pertanyaan
Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat memperingati Hari Pendidikan Nasional pada
Minggu (2/5/2021) lalu.
Baca Juga:
Mantan Kepala BIN Indonesia Tegaskan Pramuka Tetap jadi Ekstrakurikuler Wajib
Jokowi bertanya soal terobosan mantan
bos Go-Jek itu selama menjadi
Mendikbud.
Nadiem mengatakan memiliki beberapa
terobosan, mulai dari Asesmen Nasional, Guru Penggerak, perbaikan sistem
penyaluran dan pelaporan dana BOS, Kampus Merdeka, hingga bagi-bagi laptop
lewat program digitalisasi sekolah.
"Bekerja sama dengan Menkominfo
untuk memastikan sekolah jadi prioritas koneksi internet. Dari Kemendikbud kami
siapkan program distribusi laptop terbesar yang pernah terjadi," kata
Nadiem.
Baca Juga:
Soal Kelebihan Tunjangan Guru Rp23 T Era Anies Mendikbud, Kemenkeu Angkat Suara
Digitalisasi sekolah adalah salah satu
program unggulan Nadiem sejak menjabat sebagai Mendikbud pada 2019 lalu.
Program itu sempat disampaikan Nadiem
dalam Rapat Kerja dengan Komisi X DPR RI awal September 2020 lalu.
Untuk program itu, Kemendikbud
rencananya akan menggelontorkan anggaran hingga Rp 1,49
triliun pada 2021.
Selain bagi-bagi laptop dan komputer
ke sekolah, digitalisasi juga dilakukan dengan penguatan platform digital dengan nilai anggaran sebesar Rp 109,85
miliar.
Lalu, Rp 74,02 miliar untuk bahan belajar dan
media pendidikan digital.
Praktisi pendidikan, Indra Chrismidiaji, mempertanyakan program tersebut.
Alih-alih bicara digitalisasi, ia
mempertanyakan keseriusan pemerintah dan Kemendikbud, kini Kemendikbud-Ristek, yang justru ngotot ingin cepatcepat menggelar pembelajaran
tatap muka di tengah pandemi Covid-19.
Menurut Indra, keinginan itu justru
bertolak belakang dengan program digitalisasi yang dicetuskan Kemendikbud.
"Buktinya udah tiga kali
ngeluarin SKB (Surat Keputusan Bersama) 4 menteri isinya supaya (belajar) tatap
muka kan. Dan di setiap penjabaran dikatakan pembelajaran tanpa tatap muka itu
menghasilkan learning loss. Itu,
berdampak buruk," kata Indra kepada wartawan, Senin
(3/5/2021).
"Berarti sama aja dia mengatakan
digitalisasi itu enggak bagus. Kan sama aja gitu kan?" ujarnya, menambahkan.
Selain itu, kata Indra, program
bagi-bagi laptop tak bisa sepenuhnya disebut digitalisasi.
Menurutnya, bagi-bagi laptop hanya
satu bagian kecil dari keseluruhan rencana digitalisasi pendidikan.
Indra mengatakan, pada prinsipnya, digitalisasi harus ditopang dengan 3-i.
Pertama, infrastruktur yang mencakup
bukan saja laptop atau perangkat, tetapi juga listrik maupun konektivitas.
Kedua,
infostruktur, mencakup upaya pemerintah agar membuat informasi menjadi
terstruktur.
Informasi yang bukan hanya didapat
lewat browser di mesin pencari google, namun dibuat dengan mekanisme
struktur, seperti aplikasi berbasis lembaga.
Ketiga,
infokultur, upaya agar informasi dapat diakses di mana pun, kapan pun, dan
lewat perangkat apapun.
Menurutnya, informasi yang tradisional
dan lewat digital memiliki kultur yang berbeda jika diukur berdasarkan sejumlah
parameter tersebut.
"Kulturnya ini mengenal yang
namanya any time, any where, any device. Sedangkan kalau tradisional enggak bisa any time, any where, any device,"
kata Indra.
"Kan belum ada tentang learning manajemen sistem mana? Kemudian
bagaimana informasi itu terstruktur itu bagaimana? Ya kan? Kemudian bagaimana
infokultur," ujarnya, menambahkan.
Sementara itu, Koordinator Nasional
Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Satriwan Salim, mengatakan, program guru penggerak Nadiem kini
menemui banyak kendala teknis akibat infrastruktur di lapangan yang tak
menunjang.
Program guru penggerak kali pertama
disampaikan Nadiem awal Juli 2020 lalu.
Lewat program itu, Nadiem ingin
menciptakan para sosok pemimpin di sekolah.
Ia menjanjikan karier guru yang
mengikuti program tersebut bakal dipermudah dan diprioritaskan menjadi jajaran
petinggi di sekolah.
Menurut Satriwan, sejak dibuka pada
Juli, program tersebut kini menemui sejumlah kendala teknis.
Menurut dia, program tersebut belum
bisa mengakomodir guru-guru di pelosok yang mengalami keterbatasan dalam segi
internet atau infrastruktur lain.
"Bahkan masih ada kawan guru kita
di Papua, pedalaman yang belum memiliki laptop gitu ya. Ini kan, artinya
pelatihan guru penggerak sangat bias kota gitu ya," kata Satriwan, Senin
(3/5/2021).
Selain itu, kata Satriwan, program ini
menemui banyak kendala karena sepenuhnya dilakukan secara daring selama
pandemi.
Kondisi itu menyebabkan banyak para
peserta di daerah dihadapkan dengan persoalan infrastruktur, jika sewaktu-waktu
kehilangan mati lampu atau internet.
Menurutnya, persoalan itu tak bisa
dilepaskan dari kondisi banyak guru atau peserta di daerah atau pelosok.
Karena bergantung pada infrastruktur,
guru penggerak juga terkesan eksklusif sebab tak semua daerah memiliki
infrastruktur yang sama.
"Terkesan tidak mengafirmasi
justru guru-guru yang marjinal, tidak punya gawai dan laptop. Dan di daerah
tidak ada listrik," kata Satriwan.
Satriwan meminta Kemendikbud tak
buru-buru menyelesaikan program tersebut di tengah pandemi virus Corona (Covid-19).
Ia mengaku banyak menerima laporan
dari guru yang antusias mengikuti program tersebut meski dalam keterbatasan
infrastruktur.
"Saya meminta Kemendikbud
bersabar agar latihan guru penggerak ini tidak dipaksakan untuk diselenggarakan
di masa pandemi seperti ini. Lagi-lagi tidak akan efektif karena bergantung pada
digital," katanya.
Sementara praktisi dan pengamat
pendidikan, Asep Sapa'at, meminta Kemendikbud berpikir ulang
terkait program Kampus Merdeka.
Menurut Asep, Kampus Merdeka menjadi
tak efektif dalam implementasi jika tak mampu menguatkan peran strategis
perguruan tinggi sebagai center of
excellence.
Menurutnya, Kampus Merdeka harus
dilihat melalui aspek institutional
building, yakni untuk apa dan untuk siapa kampus berkhidmat.
Menurutnya, kampus mesti hadir dan
memberikan kontribusi pada kehidupan masyarakat dan bangsa.
"Kampus memahami jati diri
sebagai institusi yang menyiapkan SDM berkualitas di berbagai bidang,
menyelenggarakan pelayanan pembelajaran berkualitas bagi para mahasiswa,
menyumbangkan pemikiran dan hasil riset yang bermanfaat bagi publik dengan
prinsip Tridarma Perguruan Tinggi," ujar Asep.
Program Kampus Merdeka mulai
dijalankan Nadiem awal 2020 lalu.
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Nizam, mengatakan, kata kunci dalam pelaksanaan Kampus
Merdeka adalah inovasi dan kreativitas.
Dalam Kampus Merdeka, perguruan tinggi
mendapat otonomi untuk melakukan pembukaan atau pendirian program studi (prodi)
baru.
Otonomi ini diberikan jika PTN dan PTS
tersebut memiliki akreditasi A dan B, dan telah melakukan kerja sama dengan
organisasi dan/atau universitas yang masuk dalam QS Top 100 World Universities. [dhn]