Pilar pertama, kualifikasi SDM dan keselamatan petugas. TÜV Rheinland menyoroti soal kekurangan teknisi terampil untuk perbaikan baterai tegangan tinggi dan menggarisbawahi urgensi pelatihan petugas darurat (first responder) untuk penanganan insiden EV yang aman. Seperti ditekankan oleh Tristan, Indonesia memerlukan personel yang berkualitas dan terampil di seluruh rantai nilai, tidak hanya infrastruktur.
Kedua, adalah tentang kesiapan asuransi dan validasi teknis independen. TÜV menjawab kesulitan underwriting dan biaya klaim tinggi asuransi dengan menyediakan kerangka TÜV Rheinland-EVSafe. Kerangka ini merumuskan protokol pengujian independen, contohnya seperti soal penghitungan State of Health (SoH) baterai dan integritas kelistrikan. Keduanya menjadi dasar data akurat untuk penentuan premi, sekaligus meluruskan mispersepsi publik tentang risiko teknis EV.
Baca Juga:
Agam Kembali Menyala, Sistem Kelistrikan Sumbar Pulih 100% Pascabencana
Terakhir, adalah tentang tata kelola data, keamanan siber, dan privasi. Saat ini, berbagai penanganan atas data di EV dinilai sebagai risiko baru. Pengumpulan data perilaku mengemudi di EV, akan memengaruhi penetapan premi lewat model asuransi berbasis penggunaan (UBI).
Hal ini memunculkan tantangan krusial dalam memastikan keamanan siber, tata kelola data, dan perlindungan privasi konsumen.
"Data adalah topik krusial. Bagaimana data ini disimpan dan digunakan? Apakah oleh pabrikan untuk R&D, oleh asuransi untuk mengukur perilaku berkendara, atau oleh pemerintah untuk regulasi? Data adalah topik krusial. Kita harus memastikan data privacy protection dan keamanan siber yang kuat, karena ini adalah faktor risiko baru dalam mobilitas listrik," jelas Tristan.
Komitmen TÜV Rheinland-EVSafe Menjamin Mobilitas Aman dan Berkelanjutan
Baca Juga:
Detik-detik PLN Kembalikan Cahaya di Titik Kritis: 23 Menit Paling Panjang dalam Sejarah IGD Aceh Barat
Sebagai lembaga pengujian, inspeksi, dan sertifikasi global yang independen, TÜV Rheinland berkomitmen untuk selalu aktif bermitra teknis dengan berbagai pemangku kepentingan untuk mengharmonisasi standar dan regulasi. Tujuannya, produk yang masuk ke pasar Indonesia dapat dipastikan aman. Sehingga untuk merealisasikan komitmen ini, TÜV Rheinland mendorong Indonesia mampu memiliki tiga langkah terukur di masa depan.
Pertama adalah adanya kebutuhan tinggi atas program kualifikasi SDM. Indonesia perlu segera memiliki program pelatihan dan sertifikasi yang terakreditasi internasional untuk teknisi bengkel dan ahli diagnostik EV tegangan tinggi, guna mengatasi gap keahlian yang kritis.
Selain itu, pembentukan Pokja dari para pemangku kepentingan EV perlu segera didirikan. Pembahasan dan pengujian kerangka validasi teknis TÜV Rheinland-EVSafe sebagai dasar penetapan premi dan klausul pertanggungan EV terus dilaksanakan dengan intens.