WahanaNews.co, Jakarta - Calon presiden (capres) dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan, Anies Baswedan, akhirnya menjatuhkan pilihan pada Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar, sebagai bakal calon wakil presiden (cawapres) untuk Pemilu 2024.
Namun, perlu dicatat bahwa elektabilitas Muhaimin, yang akrab disapa Cak Imin, berada di level yang lebih rendah.
Baca Juga:
PHK Ancam Tenaga Kerja, Cak Imin Minta Semua Pihak Bertindak Bersama
Berbagai survei yang dilakukan oleh lembaga-lembaga menunjukkan bahwa tingkat dukungan terhadap Wakil Ketua DPR RI ini berada di kisaran 1 persen atau bahkan lebih rendah.
Di sisi lain, Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), yang sebelumnya sempat dianggap sebagai kandidat cawapres terkuat untuk Anies, justru memiliki elektabilitas yang lebih tinggi dibandingkan Muhaimin.
Contohnya, survei yang dilakukan oleh Litbang Kompas pada periode 27 Juli-7 Agustus 2023 mencatat elektabilitas Cak Imin sebesar 0,4 persen. Sementara itu, elektabilitas AHY mencapai 5,1 persen.
Baca Juga:
Cak Imin Mengaku Menerima Pesan dari Presiden Prabowo Subianto
Melansir Kompas.com, survei Indikator Politik Indonesia pada periode 20-24 Juni 2023 juga menunjukkan bahwa elektabilitas Muhaimin hanya sebesar 0,8 persen, yang terpaut jauh dari tingkat keterpilihan AHY yang mencapai 11,4 persen.
Namun, mengapa Anies memilih Muhaimin daripada AHY sebagai pasangannya?
Menurut Ari Junaedi, Direktur Nusakom Pratama Institute, keputusan untuk menggandeng Muhaimin sebagai pendamping Anies mungkin berkaitan dengan popularitas yang tinggi dari PKB.
Hasil survei terbaru dari Litbang Kompas menunjukkan bahwa PKB memiliki elektabilitas sebesar 7,6 persen. Angka ini menjadikan PKB sebagai partai ketiga dengan elektabilitas tertinggi setelah PDI Perjuangan dan Partai Gerindra, mengungguli Partai Golkar dan Partai Demokrat.
Terlepas dari itu, sebagian besar pendukung PKB berasal dari kelompok Nahdlatul Ulama (NU) yang tersebar di Jawa Timur, wilayah yang belum sepenuhnya dikuasai oleh Anies.
Oleh karena itu, menurut pandangan Ari, dengan memilih Muhaimin sebagai pasangannya, Anies mungkin ingin mengatasi tantangan untuk memperkuat dukungannya di wilayah tersebut yang masih relatif kurang kuat.
“Saya menganggap langkah Nasdem menggaet Cak Imin sebagai pendamping Anies tidak terlepas dari potensi suara tapal kuda di Jawa Timur dan basis-basis PKB di mana pun berada,” ungkap Ari, mengutip Kompas, Minggu (3/9/2023).
Selain itu, Ari menduga, Nasdem memanfaatkan situasi politik terkini, di mana Muhaimin dan PKB merasa terancam karena Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN) merapatkan barisan ke koalisi pendukung Prabowo Subianto.
Sebab, dengan bergabungnya Golkar dan PAN, peluang Cak Imin menjadi cawapres Prabowo semakin kecil, lantaran harus bersaing dengan Menteri BUMN Erick Thohir yang disodorkan oleh PAN.
“Saya anggap sebagai spekulatif politik, Nasdem memanfaatkan betul suasana kebatinan Cak Imim dan PKB yang merasa terbuang usai Golkar dan PAN merapat serta menguatnya nama Erick Thohir sebagai cawapresnya Prabowo,” ujar pengajar Universitas Indonesia tersebut.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Direktur Eksekutif Institute for Democracy and Strategic Affairs (Indostrategic) Ahmad Khoirul Umam. Dengan menggandeng Muhaimin, Anies disebut hendak menghapus citra politik identitas yang melekat di dirinya.
Sayangnya, kata Umam, mesin politik Nahdliyin setahun terakhir kadung dioptimalkan untuk “menjual” habis Prabowo, yang mulanya berkoalisi dengan PKB, ke para kiai sepuh dan simpul-simpul pesantren.
Di bawah komando PKB dan Cak Imin, para kiai sepuh terlanjur mengarahkan dukungan buat Prabowo.
“Maka hal itu akan sangat merepotkan mesin politik PKB,” kata Umam kepada Kompas.com, Jumat (1/9/2023).
Selain itu, lanjut Umam, dengan rekam jejak Anies yang dianggap mengeksploitasi politik identitas pada Pilkada DKI Jakarta 2017, sulit bagi kalangan Nahdliyin mengubah haluan dukungan.
“Artinya, langkah politik Anies agak berat untuk recover elektabilitas. Jangan sampai salah perhitungan,” tutur dosen Universitas Paramadina itu.
Adapun kabar duet Anies-Muhaimin pertama kali diungkap oleh Partai Demokrat. Sekretaris Jenderal (Sekjen) Demokrat Teuku Riefky Harsya mengatakan, nama Cak Imin ditunjuk langsung oleh Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh.
Katanya, keputusan itu diambil secara sepihak oleh Surya Paloh setelah ia bertemu dengan Muhaimin di markas Nasdem di Menteng, Jakarta, Selasa (29/8/2023).
“Secara sepihak Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh tiba-tiba menetapkan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar sebagai cawapres Anies tanpa sepengetahuan Partai Demokrat dan PKS,” ujar Riefky dalam keterangannya, Kamis (31/8/2023).
Demokrat pun mengaku dipaksa menerima keputusan itu. Partai bintang mercy tersebut menilai, penunjukan Muhaimin sebagai cawapres merupakan bentuk pengkhianatan Nasdem dan Anies atas piagam pembentukan Koalisi Perubahan untuk Persatuan.
Riefky bahkan mengeklaim, pada 14 Juni 2023 lalu, Anies sebenarnya sudah menunjuk Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), sebagai pendampingnya pada Pilpres 2024. Namun, tiba-tiba saja situasi berubah drastis.
“Pengkhianatan terhadap apa yang telah disampaikan sendiri oleh capres Anies Baswedan yang telah diberikan mandat untuk memimpin Koalisi Perubahan,” ucap Riefky.
Surya Paloh pun telah angkat bicara terkait ini. Dia bilang, duet Anies-Muhaimin belum resmi, meski ia tak menampik kemungkinan tersebut.
“Kemungkinan ke arah itu bisa saja terjadi. Tapi saya pikir itu belum terformalkan sedemikian rupa sampai menit ini. Kita tunggu perkembangan 1-2 hari ini,” katanya di Nasdem Tower, Gondangdia, Menteng, Jakarta, Kamis (31/8/2023).
Demokrat pun memutuskan hengkang dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan pasca duet Anies-Muhaimin. Sementara, PKS belum menentukan sikap.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]