WahanaNews.co | Bupati nonaktif Kuantan Singingi (Kuansing) Andi Putra menjalani proses sidang perdana di Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru, Senin (14/3). Politisi Partai Golkar itu didakwa menerima suap Rp 500 juta dari PT Adimulia Agrolestari (AA).
Sidang digelar dengan cara telekonferensi. Majelis hakim, Jaksa Penuntut Umum (JPU), dan penasihat hukum terdakwa berada di ruang pengadilan, sedangkan Andi Putra mengikuti persidangan dari Rutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Gedung Merah Putih, Jakarta.
Baca Juga:
KHLK: Industri Pelet Kayu Gorontalo Berpotensi Gantikan Batubara untuk Listrik
JPU KPK Wahyu Dwi Oktafianto, dalam dakwaan yang dibacakan di hadapan majelis hakim yang dipimpin Dahlan, menyebut tindakan suap terjadi pada 27 September 2021 hingga 18 Oktober 2021.
Suap terkait pengurusan perpanjangan izin Hak Guna Usaha (HGU) lahan sawit itu diterima di rumah General Manager PT AA Sudarso di Jalan Kertama Gang Nurmalis No 2 RT 002 RW 021 Kelurahan Maharatu, Kecamatan Marpoyan Damai, Kota Pekanbaru, dan di Jalan Sisingamangaraja No 9 Kuantan Tengah, Kabupaten Kuantan Singingi.
"Terdakwa mengetahui atau setidak-tidaknya patut menduga bahwa penerimaan uang Rp500 juta dari total Rp1,5 miliar yang disepakati dengan Sudarso terkait dengan jabatan terdakwa selaku Bupati Kuansing yang mempunyai kekuasaan dan wewenang untuk mengeluarkan surat rekomendasi persetujuan tentang penempatan lokasi kebun kemitraan/plasma," jelas Wahyu.
Baca Juga:
Menteri ATR/BPN AHY Sebut Anggaran Tambahan 2024 untuk Program Kementerian
Lokasi itu paling sedikit 20 persen di Kabupaten Kampar, sehingga PT AA tidak perlu lagi membangun kebun kemitraan/ plasma paling sedikit 20 persen dari luas HGU yang terletak di Kabupaten Kuansing. Menurut Sudarso, pemberian uang berhubungan dengan jabatan terdakwa selaku Bupati Kuansing.
Tindakan itu bertentangan dengan Pasal 76 ayat (1) huruf a dan e Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemda dan Pasal 5 angka 4 dan 6 UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Suap berawal Ketika PT AA mengelola tanah perkebunan sawit yang berdiri di atas alas HGU Nomor 00008 tanggal 08 Agustus 1994 dengan luas tanah 3.952 hektare di Kabupaten Kampar dengan jangka waktu HGU selama 30 tahun sejak 1994 sampai 2024. Di sana telah dibangun 20 persen kebun kemitraan/plasma untuk masyarakat.
Berdasarkan Permendagri Nomor 118 Tahun 2019 terjadi perubahan batas wilayah Kabupaten Kampar dan Kabupaten Kuansing. Akibatnya, lahan PT AA yang semula berada di Kampar terbagi dua, sebagian di Kampar dan sebagian di Kuansing.
Atas perubahan itu, PT AA mengajukan perubahan HGU 00008 tanggal 08 Agustus 1994 kepada Kantor Wilayah ATR/BPN Provinsi Riau. Atas permohonan tersebut, kemudian terjadi perubahan HGU terhadap kebun sawit yang terletak di Kabupaten Kuansing.
Ada tiga sertifikat HGU PT AA yang akan berakhir. Sertifikat dengan nomor 10009, 10010 dan 10011 berada di Desa Sukamaju Kecamatan Singingi Hilir Kabupaten Kuansing. Jangka waktu seluruh Sertifikat HGU tersebut di atas tetap mengikuti sertifikat HGU sebelumnya yaitu selama 30 tahun sejak tahun 1994 sampai 2024.
Komisaris PT Adimulia Agrolestari Frank Wijaya sekaligus pemilik saham meminta Sudarso untuk mengurus perpanjangannya. Atas permintaan tersebut, Sudarso memulai proses pengurusan perpanjangan Sertifikat HGU PT AA.
Sudarso memulai proses pengurusan perpanjangan sertifikat HGU PT AA Nomor 10009, 10010 dan 10011 dengan membuat Surat Permohonan Perpanjangan HGU Nomor: 068/AA-DIR/VIII/2021 tanggal 04 Agustus 2021 dan Nomor: 069/AA-DIR/VII/2021 tanggal 04 Agustus 2021 yang ditandatangani Direktur PT AA David Vence Turangan dan ditujukan ke Kantor Pertanahan Kabupaten Kuansing.
"Namun oleh karena luas tanah yang dimohonkan perpanjangan HGU di atas 250 hektare, maka hal itu bukan menjadi kewenangan Kantor Pertanahan Kabupaten Kuansing, melainkan kewenangan Kementerian ATR/BPN, yaitu Dirjen Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah," katanya.
Selanjutnya, surat permohonan perpanjangan HGU PT AA tersebut diteruskan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Kuansing ke Kantor Wilayah (Kanwil) BPN Provinsi Riau secara berjenjang untuk kemudian diteruskan ke Kementerian ATR/BPN, dalam hal ini Dirjen Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah.
Dalam prosesnya, pada 3 September 2021 di Hotel Prime Park Pekanbaru, Kepala Kanwil ATR/BPN Provinsi Riau Muhammad Syahrir mengadakan rapat koordinasi dengan mengundang para pihak terkait. Rapat dihadiri Panitia Pemeriksaan Tanah B Provinsi Riau sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Riau Nomor: 19/SK-14.HP.01.02/I/2021 tanggal 04 Januari 2021.
Terdakwa Andi Putra, ketika itu diwakili Plt Sekda Kabupaten Kuansing Agus Mandar. Hadir pula pihak PT AA selaku pemohon yang diwakili David Vence Turangan, Sudarso, Syahlevi Andra dan Fahmi Zulfadli.
Padahal faktanya, surat permohonan perpanjangan HGU PT AA baru diterima secara resmi oleh Kantor Wilayah ATR/BPN Provinsi Riau pada tanggal 12 Oktober 2021. Di dalam rapat tersebut, dilakukan pembahasan mengenai kelengkapan dokumen pengajuan perpanjangan HGU PT AA.
Ditemukan permasalahan, yaitu kebun kemitraan/ plasma yang telah dibangun PT AA sebesar paling sedikit 20 persen dari luas HGU yang dimohonkan perpanjangan seluruhnya berada di Kabupaten Kampar.
Padahal telah terjadi perubahan batas wilayah yang menyebabkan sebagian wilayah HGU PT AA tersebut masuk ke Kabupaten Kuansing.
Akibatnya, ada beberapa kepala desa, antara lain Kepala Desa Sukamaju dan Beringin Jaya, Kabupaten Kuansing, yang meminta agar PT AA juga membangun kebun kemitraan/ plasma di wilayah desa tersebut.
Namun, PT AA belum membangun kebun kemitraan/ plasma paling sedikit 20 persen di sekitar lokasi kebun yang ada di wilayah Kabupaten Kuansing.
Atas permasalahan tersebut, PT AA berniat untuk tidak perlu membangun kebun kemitraan/ plasma lagi di wilayah Kuansing karena telah membangun paling sedikit 20 persen kebun kemitraan/plasma di Kabupaten Kampar. Namun oleh Muhammad Syahrir, dijelaskan bahwa kewenangan menentukan lokasi kebun kemitraan/ plasma paling sedikit 20 persen dari total HGU ada pada Bupati Kuansing.
Selanjutnya Muhammad Syahrir selaku Ketua Panitia B mengarahkan PT AA untuk meminta surat rekomendasi persetujuan dari terdakwa Andi Putra selaku Bupati Kuansing tentang penempatan lokasi kebun kemitraan/plasma di Kabupaten Kampar yang sudah ada sebelumnya. Surat rekomendasi persetujuan tersebut diperlukan sebagai kelengkapan dokumen pengajuan perpanjangan HGU PT AA.
Sudarso yang mengenal Andi Putra sejak masih menjadi anggota DPRD Kuansing, lalu melakukan pendekatan. Dari pertemuan antara terdakwa dengan Andi Putra, disepakati Bupati Kuansing itu akan menerbitkan surat rekomendasi persetujuan.
Pada bulan September 2021, bertempat di rumah Sudarso di Kota Pekanbaru, terjadi pertemuan antara terdakwa dengan Sudarso. Ketika itu, terdakwa menyampaikan akan menerbitkan surat rekomendasi persetujuan tapi dia meminta PT AA memberikan uang terlebih dahulu sebesar Rp1,5 miliar.
Atas permintaan tersebut, Sudarso menyampaikan kepada Frank Wijaya. Ternyata Frank Wijaya menyetujui untuk memberikan uang kepada terdakwa dengan cara bertahap. Pertama, kepada terdakwa diserahkan uang Rp500 juta untuk tahap awal, dengan maksud agar surat rekomendasi persetujuan dari terdakwa dapat segera keluar.
Atas persetujuan Frank Wijaya, pada 27 September 2021, Sudarso meminta Syahlevi Andra selaku Kepala Kantor PT AA Cabang Pekanbaru, mengantarkan uang Rp500 juta ke rumahnya di Jalan Kartama Gang Nurmalis Nomor 2, RT.002 RW.021, Kelurahan Maharatu, Kecamatan Marpoyan Damai, Kota Pekanbaru, untuk diserahkan kepada terdakwa.
Setelah uang Rp 500 juta diterimanya, Sudarso kemudian memberitahukannya kepada terdakwa. Selanjutnya terdakwa memerintahkan sopirnya yang bernama Deli Iswanto untuk mengambil uang tersebut dan sekaligus meminta agar uang dititipkan kepada Andri A alias Aan.
Setelah Deli Iswanto sampai di rumah Sudarso, kemudian Sudarso bersama Syahlevi Andra, menyerahkan uang sebesar Rp500 juta tersebut kepada Deli Iswanto.
Atas perintah terdakwa, Deli Iswanto kemudian menyerahkan uang tersebut kepada Andri A alias Aan di rumahnya di Kabupaten Kuansing. Berselang 2 hari kemudian terdakwa mengambil uang Rp 500 juta tersebut di rumah Andri A alias Aan.
Kemudian pada tanggal 12 Oktober 2021, PT AA membuat Surat Nomor: 096/AA-DIR/X/2021 perihal permohonan persetujuan penempatan pembangunan kebun kemitraan PT AA di Kabupaten Kampar yang ditandatangani Direktur PT AA David Vence Turangan . Surat tersebut kemudian diserahkan secara langsung oleh Sudarso kepada terdakwa di rumah terdakwa.
Selanjutnya terdakwa memerintahkan Andri Meiriki untuk meneruskan surat tersebut kepada Mardansyah selaku Plt Kepala DPMPTSPTK (Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu dan Tenaga Kerja) Kabupaten Kuansing agar segera diproses.
Atas pengajuan surat tersebut kemudian terdakwa meminta kepada Sudarso agar memberikan kekurangannya sebagaimana yang telah disepakati yakni sebesar Rp 1,5 miliar.
Sudarso kemudian melaporkan permintaan terdakwa tersebut kepada Frank Wijaya. Permintaan tersebut disetujui, yaitu uang kekurangannya yang diminta terdakwa akan diserahkan secara bertahap.
Selanjutnya Sudarso memberi saran kepada Frank Wijaya agar memberikan kepada terdakwa sebesar Rp100 juta sampai Rp200 juta saja karena PT AA sudah pernah memberikan Rp 500 juta sebelumnya dan juga sudah pernah memberikan bantuan saat proses pencalonan terdakwa sebagai Bupati Kuansing.
Atas saran tersebut, Frank Wijaya menyetujui untuk memberikan uang sebesar Rp 250 juta kepada terdakwa. Pada tanggal 18 Oktober 2021, terdakwa menghubungi Sudarso meminta sisa uang yang telah disepakati sebelumnya. Sudarso kemudian memerintahkan Syahlevi Andra mencairkan uang sebesar Rp 250 juta.
Sudarso bersama Paino dan Yuda Andika dengan mengendarai mobil Toyota Hilux warna putih, dengan nomor plat BK 8900 AAL datang menemui terdakwa di rumahnya di Jalan Sisingamangaraja Nomor 9 Kuantan Tengah, Kabupaten Kuansing untuk memastikan surat rekomendasi persetujuan dari terdakwa, sekaligus membicarakan mekanisme penyerahan sisa uang yang diminta terdakwa.
Setelah pertemuan dengan terdakwa di persimpangan Jalan Abdoer Rauf dengan Jalan Datuk Sinaro Nan Putiah, Sudarso diamankan petugas KPK. Mengetahui Sudarso diamankan, Frank Wijaya memerintahkan Syahlevi Andra untuk menyetorkan kembali uang sebesar Rp 250 juta ke rekening PT AA.
Bahwa perbuatan terdakwa menerima uang sebesar Rp500 juta dari total Rp1,5 miliar yang disepakati dari Sudarso selaku GM PT AA, dimaksudkan agar terdakwa mengeluarkan surat rekomendasi persetujuan tentang penempatan lokasi kebun kemitraan/plasma paling sedikit 20 persen di Kabupaten Kampar.
Dengan dokumen itu, PT AA tidak perlu lagi membangun kebun kemitraan/plasma paling sedikit 20 persen dari luas HGU yang terletak di Kabupaten Kuansing.
Hal ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan dan Peraturan Menteri (Permen) Agraria dan Tata Ruang (ATR) / Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) No. 7 Tahun 2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha.
Andi Putra didakwa dengan dakwaan Kesatu: Pasal 12 huruf a UU Tipikor Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP atau Kedua: Pasal 11 UU Tipikor Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Atas dakwaan tersebut, penasihat hukum terdakwa akan mengajukan nota keberatan atau eksepsi. Majelis hakim mengagendakan pembacaan eksepsi pada Kamis (17/3). [rin]