WahanaNews.co | Secara Pribadi, Din Syamsudin menolak rencana pemindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Kalimantan. Bahkan mantan Ketua Umum Muhammadiyah dan MUI itu berencana menggugat UU tentang Ibu Kota Negara (IKN) yang sudah disahkan oleh DPR ke Mahkamah Konstitusi.
"Segera kita gugat UU itu ke Mahkamah Konstitusi," kata Din, Jumat (21/1/2022)
Baca Juga:
Babak Baru UU Cipta Kerja: MK Menangkan Gugatan, Revisi Menyeluruh Segera Dilakukan
Din tak menyebutkan kapan akan menggugat secara resmi UU IKN itu ke MK. Ia menilai pemindahan Ibu Kota Negara pada masa pandemi tak tepat. Sebab, masih banyak masyarakat yang kesusahan hidupnya saat ini.
Din juga mengatakan tak ada urgensinya memindahkan ibu kota negara ketika pemerintah masih memiliki utang luar negeri yang tinggi.
Bank Indonesia mencatat utang luar negeri (ULN) Indonesia yaitu US$416,4 miliar pada akhir November 2021.
Baca Juga:
MK Kabulkan 70% Tuntutan Buruh, Serikat Pekerja Rayakan Kemenangan Bersejarah dalam Revisi UU Cipta Kerja
"Tidak ada urgensi sama sekali apalagi pemerintah memiliki utang tinggi, adalah keputusan/kebijakan yang tidak bijak," kata Din.
Ia menilai pemindahan Ibu Kota baru ke Kalimantan berpotensi merusak lingkungan hidup. Tak hanya itu, Ibu Kota baru juga potensial menguntungkan segelintir oligarki.
"Maka pemindahan Ibu Kota Negara adalah bentuk tirani kekuasaan harus ditolak," kata Din.
Proses peralihan menuju Ibu Kota Negara yang bernama Nusantara rencananya akan dimulai tahun ini usai DPR mengesahkan RUU tentang IKN menjadi UU beberapa hari lalu. Megaproyek Ibu Kota Negara Baru disebut membutuhkan anggaran sebesar Rpp466 triliun hingga Rp486 triliun.
Sebelumnya, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Abdurrahman Suhaimi tidak setuju dengan keputusan pemerintah memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur.
Dia juga mengajak warga DKI Jakarta untuk ramai-ramai menolak UU IKN dan dapat menggugatnya ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Saya mendorong untuk melakukan (tindakan) sesuai prosedur hukum. Atau masyarakat DKI secara umum menyuarakan lebih besar lagi penolakannya. Tentu saja secara konstitusional, bermartabat, beradab, sehingga itu menjadi gagasan yang bisa disaksikan siapa saja, kan negara ini bukan milik penguasa," katanya. [bay]