WahanaNews.co | Pengacara Guruh Soekarnoputra, Simeon Petrus, membeberkan kronologi perselisihan rumah kliennya yang hampir dieksekusi oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) pada Kamis (3/8/2023) kemarin.
Simeon menjelaskan bahwa masalah ini bermula pada tahun 2011, ketika Guruh membutuhkan pinjaman uang untuk keperluan bisnisnya. Seorang teman Guruh memperkenalkannya dengan seorang pria bernama Suwantara Gautama.
Baca Juga:
Pemkot Jaksel Tekankan Kesadaran Bela Negara untuk Cegah Tawuran dan Narkoba
"Pada Mei 2011, Mas Guruh membutuhkan uang untuk bisnisnya. Kemudian dia diperkenalkan oleh temannya kepada Suwantara Gautama," ujar Simeon di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada Kamis (3/8/2023).
Guruh dan Gautama berbicara dan Guruh mengajukan permohonan pinjaman sebesar Rp35 miliar kepada Gautama. Mereka setuju untuk membuat pinjaman dengan tenor 3 bulan dan bunga 4,5 persen per bulan.
Selain itu, Gautama juga menetapkan syarat pinjaman dengan membuat Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB).
Baca Juga:
Pemkot Jaksel Siap Jaga Keamanan dan Ketertiban Dukung Pilkada DKI Jakarta
"Suwantara Gautama mengajukan syarat bahwa dia akan memberikan pinjaman asalkan ada PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual Beli)," ungkapnya.
"Kemudian PPJB yang dibuat mencakup kuasa menjual dan kuasa mengosongkan. Pembayaran Rp35 miliar untuk PPJB dengan bunga 4,5 persen dan jangka waktu 3 bulan, itu terjadi pada tanggal 3 Mei 2011," tambahnya.
Waktu pinjaman Guruh berakhir pada tanggal 3 Agustus 2011. Namun, menurut Simeon, Guruh telah mencoba menghubungi Gautama sebelum tanggal jatuh tempo, tetapi tidak mendapat respons.
"Sebelum tanggal 3 Agustus, Guruh mencoba menghubungi Suwantara, tetapi tidak bisa dihubungi," ucapnya.
Pada waktu yang sama dengan jatuh tempo pinjaman kepada Gautama, Guruh juga melakukan kesepakatan dengan seseorang bernama Susy Angkawijaya.
Syaratnya adalah Susy akan memberikan pinjaman kepada Guruh jika ia bersedia membuat Akta Jual Beli (AJB) untuk rumahnya.
"Kemudian terjadilah kesepakatan itu dengan AJB, harga jual beli itu hanya Rp16 miliar. Uang Rp16 miliar pun Mas Guruh tidak pernah terima," kata Simeon.
Meski demikian, Simeon menyatakan PPJB awal belum dibatalkan dan uang Rp 35 miliar serta bunga yang dipinjam Guruh ke Gautama belum dikembalikan. Namun, AJB dengan Susy sudah terlanjur dibuat.
Simeon menyebut AJB itu lah yang kemudian dijadikan landasan oleh Susy menggugat Guruh.
"Akhirnya sampai 2014 Januari Susy menggugat dengan dasar AJB. Susy Angkawijaya menggugat dengan dasar AJB dan Akta Pengosongan itu, kemudian menggugat Mas Guruh di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan," ujar dia.
Guruh Merasa Terzalimi
Guruh, yang tetap bertahan di rumahnya, menyinggung tentang maraknya mafia di Indonesia yang terlibat dalam berbagai bidang, termasuk mafia peradilan dan pertanahan.
"Sekarang semakin banyak mafia di segala bidang, termasuk berbagai sektor negara seperti peradilan dan pertanahan, dan lain sebagainya," kata Guruh di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Guruh menegaskan bahwa dirinya berada di pihak yang benar dalam kasus ini. Ia merasa terpanggil untuk turut memberantas mafia di Indonesia. Sebagai putra dari Presiden pertama RI, Soekarno, dia juga merasa terzalimi dengan kasus ini.
"Saya sebagai anak proklamator dan keluarga merasa terzalimi, tapi ini juga merupakan kezaliman terhadap negara dan bangsa," ujar dia.
Pada Kamis (3/8/2023), Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akan mengeksekusi rumah Guruh Soekarnoputra setelah dia kalah dalam gugatan perdata melawan Susy Angkawijaya. Ia dihukum membayar ganti rugi materiil sebesar Rp23 miliar.
Sejumlah orang berbaju bebas terlihat berkeliling di sekitar rumah Guruh. Mereka duduk di atas sepeda motor yang terparkir di sekitar rumah.
Ada juga mobil komando yang berada di ujung jalan. Di atasnya, ada orang yang berorasi menolak eksekusi rumah Guruh.
Rumah Guruh juga dipasangi spanduk-spanduk protes. Salah satu spanduk yang terbentang bertuliskan 'Selamatkan Rumah Bung Karno'.
Namun, eksekusi rumah Guruh Soekarnoputra yang terletak di Jalan Sriwijaya Jaya III, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, batal dilakukan oleh juru sita Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Kamis (3/8/2023).
Pejabat Humas PN Jakarta Selatan, Djuyamto, menyatakan bahwa situasi yang tidak kondusif menjadi penyebab pembatalan eksekusi tersebut.
"Petugas juru sita telah berada di lokasi eksekusi sejak pukul 09.00 WIB. Namun, petugas juru sita kami tidak dapat masuk ke lokasi karena situasi dan kondisi di tempat eksekusi tidak memungkinkan atau tidak kondusif," katanya kepada wartawan.
Lebih lanjut, juru sita PN Jakarta Selatan tidak berani untuk mendekat ke obyek eksekusi lantaran tidak ada jaminan dari pihak kepolisian.
Djuyamto menyebutkan, tak ada aparat yang berjaga di sekitar lokasi eksekusi. Sementara itu, ada sejumlah massa yang berkumpul di Jalan Sriwijaya III.
"Sesuai dengan apa yang disampaikan petugas juru sita kami, belum terlihat aparat keamanan yang berjaga di lokasi obyek eksekusi, sedangkan di obyek lokasi eksekusi itu banyak sekali massa yang menjaga obyek lokasi. Artinya, situasinya menjadi tidak memungkinkan untuk dilakukan eksekusi," imbuh Djuyamto.
Sementara itu, juru bicara PN Jakarta Selatan, Djuyamto, menyatakan bahwa Guruh Soekarnoputra kalah dalam gugatan perdata melawan Susy Angkawijaya, sesuai dengan putusan PN Jakarta Selatan Nomor 757/Pdt.G/2014/PN.Jkt.Sel.
"Sita eksekusi akan dilaksanakan dan rumah akan diserahkan kepada pihak yang mengajukan permohonan eksekusi sesuai dengan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 757/Pdt.G/2014," ujar Djuyamto, mengutip Kompas.com pada Jumat (4/8/2023).
"Dalam putusan tersebut, Guruh dinyatakan sebagai pihak yang kalah dan diwajibkan untuk mengosongkan dan menyerahkan rumah kepada pihak yang menang," tambahnya.
Djuyamto menjelaskan bahwa PN telah beberapa kali mengirimkan surat peringatan kepada Guruh. Sesuai dengan putusan pengadilan, eksekusi penyitaan akan dilakukan pada 3 Agustus 2023 mendatang.
"Berdasarkan putusan Nomor 757/Pdt.G/2014/PN.Jkt.Sel, rumah yang ditempati oleh Guruh adalah milik Susy Angkawijaya, pemohon eksekusi," jelas Djuyamto.
Berdasarkan informasi yang terdapat di Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Jakarta Selatan, majelis hakim memutuskan untuk mencabut gugatan yang diajukan oleh Guruh Soekarnoputra.
Dalam gugatannya, Guruh meminta agar dia diakui secara sah sebagai pemilik rumah mewah tersebut.
"Permohonan pencabutan perkara penggugat dikabulkan. Gugatan perkara Nomor 1008/Pdt.G/2022/PN.Jkt.Sel dicabut," begitu bunyi putusan yang tercantum di laman SIPP PN Jakarta Selatan. [eta]