WAHANANEWS.CO, Jakarta - Dugaan bahwa motif finansial menjadi pendorong utama eks prajurit TNI bergabung dengan militer asing kembali mencuat, setelah kasus mantan marinir Indonesia yang kini diketahui bertempur bersama militer Rusia di Ukraina.
Fenomena ini dinilai menciptakan celah ancaman serius bagi keamanan nasional, termasuk potensi kebocoran informasi militer yang bersifat rahasia.
Baca Juga:
Menkum: Eks Aggota TNI AL Tak Ajukan Penghapusan WNI Usai Aktif di Militer Rusia
Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, menegaskan bahwa keputusan tersebut bisa membuka risiko kebocoran data intelijen atau informasi strategis.
“Ini bisa menimbulkan kebocoran data, informasi-informasi yang sifatnya rahasia berpotensi jatuh ke pihak asing,” ujarnya, melansir BBC News Indonesia, Minggu (18/05/2025).
Fahmi menyebut daya tarik utama bagi sebagian eks tentara untuk bergabung dengan pasukan asing, khususnya dalam konflik bersenjata, adalah janji kesejahteraan finansial.
Baca Juga:
30 WNI Gagal ke Makkah, Gunakan Visa Ziarah Bukan Visa Haji
Namun kenyataannya tak selalu sesuai harapan.
“Banyak tentara bayaran yang akhirnya tidak digaji, terlantar, bahkan tewas tanpa identitas atau status kewarganegaraan yang jelas,” paparnya.
Contoh nyata dari kasus ini adalah Satriya Kumbara, mantan sersan dua TNI AL yang kini aktif membagikan aktivitasnya bersama militer Rusia di media sosial.
Satriya bahkan mencantumkan dirinya sebagai bagian dari “operasi militer khusus Rusia” di akun TikTok miliknya, @zstorm689.
Dalam berbagai unggahan, ia tampak mengenakan seragam militer Rusia dan berkumpul dengan personel asing lainnya.
Salah satu unggahan populernya yang disukai lebih dari 50.000 kali menunjukkan dua foto dirinya: satu saat mengenakan seragam marinir Indonesia dengan baret ungu, dan satu lagi berseragam militer Rusia sambil mengacungkan jempol.
Di dalam caption ia menulis, “Dulu marinir [Indonesia], sekarang bertempur bersama Rusia di Ukraina.”
TNI langsung merespons kemunculan nama Satriya di media sosial.
Dalam keterangan tertulis, Kepala Dinas Penerangan TNI AL, Laksamana Pertama TNI I Made Wira Hady Arsanta, menyebut Satriya merupakan prajurit berhenti tidak dengan hormat (BTDH).
Ia disebut desersi sejak 13 Juni 2022 dan kemudian dipidana satu tahun penjara serta diberhentikan dari dinas militer berdasarkan putusan Pengadilan Militer pada April 2023.
Kementerian Hukum dan HAM menegaskan bahwa bergabung dengan militer asing tanpa izin presiden otomatis menyebabkan seseorang kehilangan kewarganegaraan Indonesia, sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2006.
Menurut Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, status kewarganegaraan Satriya kini telah dicabut.
Namun Satriya sendiri menanggapi pencabutan tersebut dengan kritik terhadap pemerintah.
Dalam sebuah video, ia menyindir, “Yang maling uang rakyat dilindungi. Yang cari duit di luar negeri pakai skill sendiri malah diributin.”
Kementerian Luar Negeri pun turut angkat suara. Juru bicara Kemenlu, Rolliansyah Soemirat, mengatakan tidak ada catatan resmi dari KBRI Moskow terkait keberangkatan Satriya ke Rusia.
Kasus Satriya memunculkan kekhawatiran soal keterlibatan warga negara Indonesia dalam dinas militer asing, khususnya di tengah ketegangan geopolitik global yang semakin meningkat.
Menurut Fahmi, tren ini dipicu oleh kesenjangan kesejahteraan di kalangan prajurit. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2024, gaji pokok seorang sersan dua seperti Satriya hanya berkisar antara Rp2,2 juta hingga Rp3,7 juta per bulan.
Kondisi ini menyebabkan sejumlah prajurit bintara dan tamtama memilih meninggalkan TNI saat masih produktif untuk mencari nafkah di luar.
Selain faktor ekonomi, ada pula keinginan pribadi untuk "mengasah keterampilan militer" dalam medan konflik sesungguhnya.
“Mereka merasa tidak cukup berkembang, karena selama bertugas mungkin tak pernah menghadapi perang langsung,” ujar Fahmi.
Terkait iming-iming pendapatan, Fahmi menyebut bahwa tentara bayaran di perusahaan militer swasta seperti Wagner Group (Rusia) atau Blackwater (AS) bisa memperoleh bayaran antara US$5.000–US$10.000 (Rp82–164 juta) per bulan, bahkan bisa mencapai US$20.000 (Rp329 juta) tergantung peran dan risiko konflik.
Sedangkan relawan asing biasanya dibayar lebih rendah, sekitar US$1.000–US$3.000 (Rp16–49 juta).
Adapun kelompok separatis nonresmi hanya mendapat sekitar US$300–US$1.000 (Rp4,9–16 juta), kadang disertai janji rampasan atau akses ekonomi setelah perang.
Namun semua itu, menurut Fahmi, diselimuti risiko tinggi.
“Mereka tidak selalu dapat kontrak resmi, tidak ada asuransi atau jaminan keselamatan. Banyak yang akhirnya tak kembali atau meninggal tanpa identitas,” jelasnya.
Fahmi mengingatkan, kasus seperti Satriya berpotensi menginspirasi prajurit lain yang kecewa atau merasa tidak sejahtera.
“Apalagi dengan banyaknya konflik bersenjata di dunia pasca-Perang Teluk. Perusahaan militer swasta tumbuh subur, membuka celah keterlibatan warga negara asing termasuk dari Indonesia,” tegasnya.
Ia menegaskan, semakin banyak WNI yang bergabung dengan militer asing berarti semakin besar pula risiko pertukaran informasi strategis.
“Jika sampai informasi rahasia bisa diakses pihak asing, ini jelas berbahaya dan mahal harganya bagi negara,” tutup Fahmi.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]