Ia pun berpendapat bahwa diperlukan modifikasi sistem perceraian yang ada menuju model yang tidak berbasis kesalahan, terutama untuk untuk kasus perselisihan dan pertengkaran terus-menerus yang tidak bisa didamaikan lagi.
Modifikasi ini bertujuan agar proses perceraian tidak lagi fokus pada saling menyalahkan yang dapat memperburuk konflik, melainkan lebih fokus pada bukti bahwa perkawinan memang sudah tidak bisa dipertahankan (broken marriage) dan mengutamakan kepentingan terbaik anak setelah perceraian.
Baca Juga:
UGM Batalkan Acara Soft Launching Buku 'JOKOWI's WHITE PAPER' Karya Roy Suryo Cs
“Jika perselisihan dan pertengkaran terus-menerus terjadi dan sulit didamaikan, maka dapat dikualifikasi perkawinan sudah pecah,” jelasnya.
Selain itu, Hartini pun menjelaskan bahwa memodifikasi model perceraian tidak berbasis kesalahan dalam hukum acara peradilan agama di Indonesia tidak bertentangan dengan prinsip mempersulit perceraian dan juga hukum Islam.
Lebih lanjut, dalam salah satu dari 8 point yang dijabarkannya, Hartini mengusulkan adanya integrasi alasan syiqaq dan khuluk agar mendukung model perceraian non-kesalahan, serta penyelesaian isu harta bersama dan hak asuh anak secara non-litigasi.
Baca Juga:
Mahasiswi UGM Ditemukan Meninggal di Selokan Pinggir Jalan Magetan
Modifikasi ini dianggap tidak bertentangan dengan prinsip mempersulit perceraian atau ajaran agama Islam, karena banyak instrumen hukum sudah ada untuk mencegah perceraian impulsif, dan fiqih Islam juga mengakomodir perceraian nonkesalahan seperti khuluk.
Prof. Dr. Muh. Baiquni, M.P.P, selaku Ketua Dewan Guru Besar mengungumkan bahwa Prof. Hartini merupakan salah satu dari 542 Guru Besar Aktif dan di tingkat fakultas merupakan salah satu dari 16 dari Guru Besar Aktif dari 27 Guru Besar yang pernah dimiliki Fakultas Hukum UGM.
[Redaktur: Alpredo Gultom]
Ikuti update
berita pilihan dan
breaking news WahanaNews.co lewat Grup Telegram "WahanaNews.co News Update" dengan install aplikasi Telegram di ponsel, klik
https://t.me/WahanaNews, lalu join.