WAHANANEWS.CO, Jakarta - Vonis terhadap mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong, menjadi sorotan tajam dalam pusaran masalah klasik yang terus menghantui Indonesia: ketergantungan pada impor gula.
Di balik putusan hukuman 4,5 tahun penjara, mencuat kritik terhadap sistem ekonomi yang ia terapkan, yang dinilai lebih condong pada kapitalisme ketimbang semangat Pancasila.
Baca Juga:
Dari Tas Mewah hingga BMW: Gaya Hedon Anak Seret Ibunya ke Skandal Korupsi Rp2 Miliar
Pada Kamis (18/7/2025), majelis hakim menjatuhkan vonis pidana penjara selama 4,5 tahun kepada Tom Lembong. Hakim menyatakan Tom terbukti bersalah dalam kasus korupsi impor gula di lingkungan Kementerian Perdagangan.
Meski tidak ditemukan adanya upaya memperkaya diri sendiri, hakim menilai kebijakan Tom semasa menjabat telah menyimpang dari prinsip-prinsip konstitusi.
Ia disebut mengedepankan pendekatan kapitalis dalam menjaga ketersediaan dan harga gula nasional.
Baca Juga:
Kasus Korupsi DED Kawasan Wisata di Nias Utara: PPK Kembalikan Uang Rp200 Juta
"Terdakwa pada saat menjadi Menteri Perdagangan kebijakan menjaga ketersediaan gula nasional dan stabilitas harga gula nasional lebih mengedepankan ekonomi kapitalis, dibandingkan sistem demokrasi ekonomi dan sistem Pancasila berdasarkan kesejahteraan umum dan keadilan sosial," ujar hakim dalam persidangan.
Tom juga dinyatakan bersalah atas penerbitan 21 Persetujuan Impor (PI) gula kristal mentah untuk sejumlah perusahaan swasta, serta pelibatan koperasi dalam operasi pasar. Majelis hakim menilai tindakan tersebut memenuhi unsur pidana sesuai pasal yang didakwakan jaksa.
Di luar perkara hukum Tom Lembong, fakta menunjukkan bahwa masalah impor gula bukanlah hal baru. Selama lebih dari dua dekade, Indonesia terus bergantung pada gula impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Bahkan sejak era Orde Baru, tren impor gula cenderung meningkat setiap tahun, menunjukkan kegagalan sistemik dalam sektor pergulaan nasional.
Dalam dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo (2014–2024), tak satu pun dari enam Menteri Perdagangan berhasil melepaskan diri dari kebijakan impor gula.
Mereka adalah Rachmat Gobel (2014–2015), Tom Lembong (2015–2016), Enggartiasto Lukita (2016–2019), Agus Suparmanto (2019–2020), Muhammad Lutfi (2020–2022), dan Zulkifli Hasan (2022–2024).
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), tren impor gula Indonesia selama 10 tahun terakhir meningkat tajam.
Pada 2014, jumlah impor tercatat 2,93 juta ton. Angka itu melonjak menjadi 6,01 juta ton pada 2022, sebelum sedikit menurun menjadi 5,07 juta ton pada 2023.
Berikut rincian data impor gula menurut BPS dari 2014 hingga 2023:
2014: 2,93 juta ton
2015: 3,36 juta ton
2016: 4,74 juta ton
2017: 4,48 juta ton
2018: 5,03 juta ton
2019: 4,09 juta ton
2020: 5,54 juta ton
2021: 5,48 juta ton
2022: 6,01 juta ton
2023: 5,07 juta ton
Kebijakan impor gula yang tak kunjung reda ini semakin ironis bila menengok sejarah Indonesia di masa lalu. Pada awal abad ke-20, ketika masih menjadi Hindia Belanda, Pulau Jawa dikenal sebagai eksportir gula terbesar kedua di dunia setelah Kuba.
Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Indonesia (APTRI), Soemitro Samadikoen, menyebut kondisi sekarang sebagai ironi besar.
Ia mengungkapkan bahwa pabrik-pabrik gula peninggalan kolonial tidak pernah direvitalisasi sejak kemerdekaan, sehingga kalah saing dengan negara-negara penghasil gula modern.
"Masalahnya pabrik gula peninggalan Belanda ini tidak direvitalisasi sejak merdeka. Bangun pabrik baru juga sangat sedikit. Rendemen sangat rendah, karena masih pakai mesin lama. Bagaimana mungkin pabrik gula yang masih pakai ketel uap peninggalan Belanda bisa bersaing," kata Soemitro.
Yang lebih menyedihkan, menurutnya, justru yang banyak dibangun pada masa Orde Baru adalah pabrik gula rafinasi untuk kebutuhan industri, yang bahan bakunya sebagian besar berasal dari luar negeri.
Sebagai perbandingan, produksi gula Indonesia saat ini hanya sekitar 2,2 juta ton, jauh di bawah Brasil (29 juta ton), India (29 juta ton), Tiongkok (11 juta ton), dan Thailand (5 juta ton).
Padahal pada 1930, produksi gula Indonesia sempat menyentuh angka 3 juta ton, dan penduduknya jauh lebih sedikit dibandingkan sekarang.
Kondisi ini menggambarkan bahwa persoalan gula tidak sekadar urusan kebijakan satu menteri, tapi warisan problem struktural yang belum pernah diselesaikan secara serius.
Vonis terhadap Tom Lembong mungkin menjadi penanda babak baru, namun tanpa reformasi menyeluruh, impor gula akan tetap menjadi luka kronis dalam tubuh perekonomian Indonesia.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]