WahanaNews.co, Jakarta - Egi Primayogha, peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW), minta kejelasan informasi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia terkait Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap).
Permintaan kejelasan ini mencakup dokumentasi pengadaan, dokumen anggaran, dan daftar insiden kerusakan yang pernah terjadi pada Sirekap.
Baca Juga:
DPR Ultimatum KPU: Perbaiki Sirekap Sekarang atau Batal Digunakan di Pilkada 2024
Oleh karena itu, ICW telah mengunjungi dan mengirim surat kepada KPU RI untuk meminta data terkait hal tersebut.
"Itu kami lakukan agar kami bisa memeriksa bagaimana prosesnya, apakah sesuai dengan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih?" ujar Egi di Kantor KPU RI, Jakarta, melansir Antara, Jumat (23/2/2024).
ICW juga mendorong Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melakukan audit terhadap Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) sebagai alat bantu dalam penghitungan suara Pemilu 2024.
Baca Juga:
Uji Coba Sirekap Kedua Nasional untuk Pilkada 2024 Digelar KPU Fakfak
Egi menjelaskan bahwa audit terhadap Sirekap diperlukan untuk memahami secara mendalam alasan utama KPU menerapkan Sirekap pada Pemilu 2024 yang memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi.
"Di tengah dugaan kecurangan pemilu yang masif, tentu kami ingin memeriksa apakah betul ada kecurangan yang terjadi melalui Sirekap. Jadi, kami ingin memeriksa dokumennya terlebih dahulu untuk memastikan bahwa kecurangan itu tidak akan terjadi," katanya.
Menurut Egi, langkah ini merupakan partisipasi masyarakat sipil terhadap informasi yang dimiliki oleh Badan Publik sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).
Berdasarkan Pasal 12 Peraturan KPU Nomor 1 tahun 2019, KPU sebagai badan publik wajib memberikan respons paling lambat tiga hari kerja.
Sebelumnya, anggota KPU RI Betty Epsilon Idroos mengatakan pihaknya akan mengevaluasi infrastruktur hingga sumber daya manusia (SDM) petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS), terkait kesalahan data antara Form C hasil yang diunggah ke Sirekap dengan data di tempat pemungutan suara (TPS).
"Sistem itu akan sangat tergantung bagi manusianya, apa pun jenis sistem informasi yang digunakan akan juga sangat tergantung bagi penggunanya. Oleh karena itu, ini menjadi bagian evaluasi KPU," kata Betty di Gedung KPU RI, Jakarta, Senin (19/2).
Betty mengatakan pengunggahan data yang dilakukan petugas KPPS di setiap TPS memerlukan infrastruktur memadai, seperti telepon genggam atau ponsel hingga jaringan internet cepat.
Pasalnya, menurut Betty, data Form C hasil tersebut harus difoto menggunakan gawai setiap anggota KPPS. Kemudian, foto tersebut dimasukkan ke dalam situs Sirekap.
Sirekap menggunakan teknologi pengenalan tanda optis atau optical mark recognition (OMR) dan pengenalan karakter optis atau optical character recognition (OCR).
Teknologi ini memungkinkan identifikasi pola tulisan manual dan dapat mengonversinya menjadi nilai numerik.
Oleh karena itu, angka yang ditulis tangan dapat difoto dan langsung dikonversikan menjadi data numerik di Sirekap.
Betty menjelaskan bahwa masalah muncul ketika teknologi Sirekap tidak dapat mendeteksi foto tulisan angka dengan baik, menyebabkan adanya perbedaan dalam data numerik.
Selanjutnya, Idham Kholid, anggota KPU RI, mengungkapkan bahwa penghitungan suara mengalami penundaan karena telah dilakukan sinkronisasi antara data TPS dan data di Sirekap.
Meskipun begitu, Idham memastikan bahwa proses rekapitulasi yang sedang dilakukan oleh petugas telah berlangsung di beberapa kota besar, termasuk Jakarta.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]