WahanaNews.co | Tepat hari ini, 12
tahun silam, atau 14 Maret 2009, Direktur PT Putra Rajawali Banjaran (PRB),
Nasrudin Zulkarnaen, ditembak usai bermain golf di Tangerang, Banten.
Nasrudin
ditembak di pelipis kiri kepalanya oleh beberapa orang yang mengendarai sepeda
motor, Sabtu (14/3/2009), sekitar pukul 14.00 WIB.
Baca Juga:
Sempat
kritis, Nasrudin mengembuskan nafas terakhirnya pada Minggu (15/3/2009).
Kasus
tersebut bikin geger. Terlebih, nama Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
ketika itu, Antasari Azhar, kemudian terseret dan diduga sebagai otak
pembunuhan.
Berikut
rangkuman kasus penembakan sekaligus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen.
Kronologi Penembakan
Kepala
Kepolisian Resor Metro Tangerang Kota, Kombes Pol Hamidin, mengatakan, usai bermain golf di Lapangan Golf Moderland,
Kota Tangerang, Nasrudin berada di kursi kiri belakang mobil BMW-nya.
Ketika
melintasi marka kejut di tepian danau di dekat lapangan golf itu,
mobil bergerak lebih lambat.
Tiba-tiba,
dua pria mengenakan jaket warna cokelat, berkendara dengan sepeda motor, muncul
dari arah belakang mobil kiri.
"Keduanya
berboncengan sepeda motor Yamaha Scorpio warna hijau," ucap Hamidin,
dikutip dari Harian Kompas edisi
Minggu (15/3/2009).
Salah
satu pria kemudian mengeluarkan senjata api laras pendek dan menembak Nasrudin
sebanyak dua kali.
"Pria
yang membonceng lalu mengeluarkan senjata api laras pendek dan menembak korban
dua kali. Peluru bersarang di pelipis kiri korban," papar Hamidin.
Nasrudin
kemudian dibawa ke Rumah Sakit Mayapada, yang berada di Kompleks Perumahan
Modernland.
Akan
tetapi, ia tidak bisa langsung dioperasi, lantaran pendarahan di kepala tak
kunjung berhenti.
"Peluru
masih bersarang di kepala korban. Mungkin baru besok pagi dikeluarkan, menunggu
pendarahan di kepala reda," kata Hamidin.
Namun,
nyawa Nasrudin pada akhirnya tidak bisa diselamatkan, dan meninggal dunia keesokan
harinya.
Antasari Jadi Tersangka
Polisi
kemudian melakukan penyidikan atas kasus tersebut, termasuk meminta keterangan
para saksi.
Nama
Antasari Azhar kemudian mencuat. Antasari dikaitkan karena adanya bukti pesan
singkat SMS bernada ancaman yang diduga darinya untuk Nasrudin.
"Isinya
kurang lebih bernada permintaan maaf. Kira-kira begini, 'Maaf ... masalah ini hanya kita berdua yang tahu. Kalau ini sampai
ter-blow up, tahu konsekuensinya.' Begitu kira-kira," kata pengacara
keluarga Nasrudin, Jeffry Lumempouw, seperti diberitakan Harian Kompas edisi Sabtu (2/5/2009).
Antasari,
yang mengaku telah membaca tudingan kepadanya, membantah dirinya terlibat dalam
pembunuhan Nasrudin.
"Saya
sudah mendengar, membaca SMS, dan berita di internet yang sangat vulgar. Saya
menyerahkan ke proses hukum yang berlaku. Dari lubuk hati paling dalam saya
menyampaikan, SMS yang saya terima semua itu tidak benar," ujar Antasari,
Kamis (30/4/2009).
Ia
mengaku mengenal Nasrudin. Akan tetapi, Antasari bersikeras bahwa KPK justru
sedang melindungi korban yang merupakan saksi dari kasus dugaan korupsi di PT
Rajawali Nusantara Indonesia (RNI).
"Kalau
saya dibilang tidak kenal, itu bohong, karena fakta hukum saya harus melindungi mereka yang
menyampaikan info kepada KPK. Nasrudin termasuk orang yang sering memberikan
info," tuturnya.
Terlepas
dari bantahan itu, Antasari resmi ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh
polisi pada 4 Mei 2009.
Ketika
itu, polisi belum membeberkan motif.
Namun,
Antasari diduga terlibat setelah terkuaknya pertemuan antara ia dengan seorang
mantan caddy golf bernama Rani
Juliani di Kamar 803 Hotel Grand Mahakam, Jakarta Selatan.
Kapolda
Metro Jaya saat itu, Irjen Pol Wahyono, mengatakan, Antasari diduga sebagai
aktor intelektual di balik pembunuhan itu setelah pihaknya menggali informasi
dari 10 tersangka yang terlebih dahulu ditangkap.
Para tersangka
itu antara lain Daniel (D), sang eksekutor; Edo (E) sebagai pemberi order; Henrikus Kia Walen (H) sebagai
penerima order; Heri Santoso (HS) sebagai pengendara motor; A dan
C sebagai pemantau lapangan saat eksekusi; AM sebagai pemantau kebiasaan korban;
Wiliardi Wizard (WW) dan Jerry Kusuma (JK) sebagai penghubung; dan
Sigid Haryo Wibisono (SHW) sebagai penyandang dana.
Antasari
pun dijerat Pasal 340 KUHP, dengan ancaman maksimal hukuman mati.
Setelah
ditetapkan sebagai tersangka, Antasari diberhentikan sebagai pimpinan KPK oleh
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Hukuman 18 Tahun Penjara
Sidang
pertama Antasari atas kasus pembunuhan Nasrudin digelar di Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan pada 8 Oktober 2009, dengan agenda pembacaan dakwaan.
Pada 19
Januari 2010, Antasari dituntut hukuman mati oleh jaksa penuntut umum yang
dipimpin Cirus Sinaga.
Para
jaksa meyakini bahwa Antasari memang terlibat dalam pembunuhan Nasrudin.
Antasari,
ketika membaca pleidoinya pada Kamis (28/1/2010), bersikeras bahwa dirinya
tidak bersalah.
Dia
juga menyayangkan tuntutan jaksa yang menurutnya tidak berdasarkan fakta-fakta
yang terungkap di pengadilan.
"Tuntutan
penuntut umum dari awal sudah provokatif, banyak yang tidak berdasarkan
fakta-fakta yang terungkap di persidangan. Saya mohon kebijakan majelis hakim
untuk mengabaikan tuntutan hukuman mati oleh jaksa penuntut umum," kata
Antasari.
Majelis
Hakim PN Jaksel, yang dipimpin Herry Swantoro, pada akhirnya memvonis Antasari
dengan hukuman penjara selama 18 tahun.
Selain
Antasari, para terdakwa lain masing-masing divonis dengan masa hukuman berbeda,
yakni: Sigid (pengusaha) 15 tahun penjara, Jerry (pengusaha) 5 tahun penjara, Kombes
Pol Williardi Wizar (mantan Kapolres Jakarta Selatan) 12 tahun penjara, Daniel
Daen Sabon (eksekutor lapangan) 18 tahun penjara, Hendrikus Kia Walen alias Hendrik
(eksekutor lapangan) 17 tahun penjara, Fransiskus alias Amsi (eksekutor lapangan) 17 tahun penjara,
Eduardus Ndopo Mbete alias Edo (eksekutor lapangan) 17 tahun penjara, dan Heri
Santosa alias Bagol (eksekutor lapangan) 17 tahun penjara.
Setelah
putusan, pihak Antasari dan jaksa penuntut umum langsung mengajukan banding. Namun, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta
menguatkan putusan PN Jaksel pada 17 Juni 2010.
Kuasa
hukum Antasari dan pihak jaksa penuntut umum lalu mengajukan kasasi ke Mahkamah
Agung. Kasasi itu ditolak MA pada 21 September 2010.
Antasari Bebas Bersyarat, Dibantu Keluarga
Nasrudin
Antasari
terus mengajukan berbagai upaya hukum demi dibebaskan meski banding, kasasi,
hingga peninjauan kembali (PK) telah ditolak.
Tim
kuasa hukum Antasari memanfaatkan keputusan Mahkamah Konstitusi pada awal Maret
2014 yang membatalkan Pasal 268 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang mengatur
peninjauan kembali hanya sekali.
Antasari
pun bisa kembali mengajukan PK dan permohonanya dikabulkan MK pada 6 Maret
2014.
Dia pun
mengajukan sidang praperadilan pada 2014, setelah menjalani masa hukuman selama
enam tahun.
"Saya
yakin masih ada orang baik di negeri ini yang akan melihat saya tak bersalah.
Saya tak akan minta ganti rugi atas 6 tahun di penjara yang saya jalani. Saya
pun tidak dendam. Yang penting bagi saya, keadilan itu ada. Karena itu, saya
terus mencari keadilan," ujar Antasari di PN Jaksel, Jumat (14/11/2014).
Tak
cukup sampai di situ, tim kuasa hukum Antasari mengajukan permohonan grasi ke
Presiden Joko Widodo pada Selasa (28/4/2015).
"Sejak
awal penanganan kasus Antasari, penuh kejanggalan-kejanggalan dari segi tertib
hukum acara pidana, termasuk memaksakan orang tak bersalah harus masuk penjara.
Karena, dakwaan penganjuran sebenarnya tidak terbukti menurut hukum," ujar koordinator
tim kuasa hukum Antasari, Boyamin Saiman, seperti diberitakan Harian Kompas edisi Senin (11/5/2015).
"Fakta
di persidangan ini dibenarkan pula oleh keterangan ahli Doktor Agung Harsoyo,
pakar teknologi informasi dari ITB. Dengan tidak terbuktinya SMS ancaman itu,
seharusnya klien kami dibebaskan," lanjutnya.
Menariknya,
upaya grasi Antasari ini didukung oleh keluarga Nasrudin.
Sebelumnya,
ketika kasus pembunuhan muncul sampai masa persidangan, pihak keluarga korban
sempat yakin Antasari harus mendapat hukuman setimpal.
"Pidana
18 tahun penjara, menurut saya, juga menunjukkan majelis hakim kurang yakin
dengan bukti-bukti di persidangan. Karena, sesuai Pasal 340 KUHP, vonis
terhadap pelaku pembunuhan berencana adalah hukuman mati, penjara seumur hidup,
atau selama waktu tertentu, paling lama 20 tahun. Bahkan, kalau menurut saya,
terkesan Antasari asal dihukum," kata Suprianus Kandolia selaku kuasa hukum
istri Nasrudin, Irawati Arienda.
Dukungan
Suprianus itu diwujudkan dalam surat pernyataan bermaterai, tertanggal 8 Mei
2015.
Selain
kuasa hukum istri Nasrudin, yang juga mendukung pengajuan grasi Antasari adalah
adik Nasrudin, Andi Syamsuddin Iskandar.
Andi
sebelumnya pernah menyatakan Antasari sebagai korban dari kasus pembunuhan sang
kakak.
"Tidak
perlu mendetail. Masyarakat awam pun sudah tahu bahwa ini kan kasus yang penuh
rekayasa," ucap Andi pada 7 Maret 2013.
Pada
akhirnya, Antasari, yang sempat menjalani asimilasi sejak 14 Agustus 2015, di
kantor notaris Handoko Salim di Tangerang, diputuskan bebas bersyarat pada 10
November 2016 setelah melewati dua pertiga masa pidana.
Dia
bebas murni pada 2017 setelah Presiden Joko Widodo mengabulkan permohonan
grasi.
Setelah
itu, pihak Antasari membuat laporan ke Bareskrim Polri terkait persangkaan
palsu dalam proses hukum pembunuhan Nasrudin pada 14 Februari 2017.
Namun,
penyidik memutuskan untuk menghentikan proses hukum dari laporan Antasari pada
Mei 2017.
"Beliau
membuat laporan polisi dan mengajukan beberapa alat bukti. Tapi, alat bukti
yang diajukan itu sudah masuk menjadi alat bukti atau materi dalam persidangan
beliau di kasus yang lama," kata Kadiv Humas Polri, Irjen Pol Setyo Wasisto, di
Mabes Polri, Jakarta, Kamis (18/5/2017).
"Sehingga
penyidik enggak bisa memproses atau meningkatkan penyelidikan ke penyidikan.
Karena alat bukti baru tidak ada yang menguatkan untuk meningkatkan status
penyelidikan ke penyidikan," lanjutnya. [qnt]