WahanaNews.co | Juru bicara Lembaga Pencegah Perusak Hutan Indonesia
(LPPHI), Hengki Seprihadi,
berharap, sidang gugatan lingkungan hidup yang rencananya
digelar Selasa (27/7/2021)
dipimpin majelis hakim yang mengerti masalah lingkungan hidup.
Menurut Hengki, harapan tersebut bertujuan agar kasus gugatan itu
menghasilkan keputusan yang memihak lingkungan hidup.
Baca Juga:
Pertamina Komitmen Jaga Ketahanan Energi Nasional
"Sejauh ini,
kita berharap majelis hakim yang dibentuk itu hakim yang memiliki kompetensi
untuk perkara lingkungan hidup," katanya kepada wartawan di Pekanbaru, Minggu (18/7/2021).
Adapun LPPHI menggugat PT Chevron Pacific Indonesia, SKK Migas,
Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Dinas Lingkungan Hidup Riau, atas kasus
dugaan pencemaran limbah di area kerja Blok Rokan, Provinsi Riau.
Hengki berharap,
sidang yang bakal bergulir di Pengadilan Negeri Kota Pekanbaru secara daring
itu dapat mengungkap
duduk perkara gugatan.
Baca Juga:
Rakyat Harus Tahu, Inilah 4 Aset yang Berhasil Direbut Jokowi dari Asing
"Selain itu untuk meminimalkan penyebaran Covid-19, kalau sidang digelar secara fisik," kata
Wakil Sekretaris LPPHI ini.
Disinggung mengenai dekatnya jadwal persidangan dengan momen
peralihan pengelolaan Blok Rokan dari Chevron ke Pertamina tanggal 8 Agustus
2021, Hengki menilai hal tersebut tidak menjadi persoalan, sebab hal itu tak lantas
menggugurkan gugatan.
"Artinya peralihan Blok Rokan itu berada dalam keadaan sidang
sedang berjalan. Kecuali ada mediasi, misalkan Chevron mau tanggung jawab biaya
pemulihan limbah ke negara senilai US$ 1.797,2
miliar, itu lain cerita. Artinya apa yang kita tuntut sudah tercapai, semua
pencemaran ini dipulihkan," urainya.
Sebagai informasi,
angka US$ 1.797,2 miliar merupakan perhitungan Chevron (tergugat I)
atas dana yang dibutuhkan untuk penyelesaian menyeluruh pemulihan tanah
terkontaminasi minyak (TTM) setiap tahunnya, belum termasuk pemulihan hutan
yang rusak.
Angka tersebut telah disetujui SKK Migas (tergugat II).
LPPHI menilai,
Chevron dalam melakukan kegiatan usaha telah menimbulkan kerusakan hutan serta
menimbulkan dan meninggalkan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), yang
telah mencemarkan dan merusak lingkungan hidup serta merugikan masyarakat di
wilayah Kabupaten Siak, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Bengkalis, dan Kota
Pekanbaru.
Dalam gugatannya, LPPHI menggunakan 8 regulasi sebagai dasar hukum
gugatan, di antaranya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor
P.101/MENLHK/SETJEN/KUM.1/11/2018 tentang Pedoman Pemulihan
Lahan Terkontaminasi
Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun,
hingga Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang HAM,
di mana setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang
baik dan sehat.
Sementara itu,
Kordinator Hukum LPPHI, Agustinus Hutajulu, mengatakan, meskipun dasar hukum gugatan ada yang mengalami
perubahan,
seperti Pasal 88 Undang-undang32 Tahun 2009, yang mengalami
perubahan setelah munculnya Undang-Undang Omnibus
Law Nomor
11 Tahun 2020, hal tersebut tidak menghilangkan subtansi
tanggung jawab perusahaan apa yang telah dilakukan.
Adapun perbedaan antara Pasal
88 dalam Undang-Undang 32 Tahun
2009 dengan regulasi omnibus law,
terletak pada hilangnya frasa "tanpa perlu pembuktian unsur
kesalahan".
Dalam regulasi omnibus law
pasal tersebut diubah dengan bunyi sebagai berikut:
"Setiap orang yang
tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan (B3), menghasilkan
dan/atau mengelolah limbah (B3), dan/atau yang menimbulkan ancaman serius
terhadap lingkungan hidup bertanggungjawab mutlak atas kerugian yang terjadi
dari usaha dan/atau kegiatannya."
"Artinya,
tanggung jawab mutlaknya tidak hilang," katanya.
Agustinus mengungkap,
munculnya gugatan ini dilatari mandeknya laporan masyarakat atas kasus
pencemaran yang dilakukan Chevron.
Diungkapkannya,
ada 297 laporan masyarakat terkait persoalan ini.
Dari
jumlah tersebut,
hanya 147 pengaduan yang diverifikasi oleh Chevron (tergugat I) dan Dinas
Lingkungan Hidup Kehutanan Provinsi Riau (tergugat 4).
"Yang lain belum diladeni atau tidak ditanggapi, karena
menurut DLHK Provinsi itu langsung ditangani KLHK pusat (tergugat III). Setelah
kita mengecek ke lapangan laporan masyarakat itu, pencemaran minyak memang ada.
Jadi gugatan ini agar mereka melaksanakan kewajiban," pintanya.
Agus tidak mempedulikan gugatan mana akan lebih dulu di proses. Menurutnya,
hakim lebih tahu teknisnya.
Namun,
ia berharap pemerintah Indonesia untuk sementara waktu menghentikan hak Chevron
atas minyak yang diperolehnya.
"Sementara itu,
Pertamina disarankan membangun kolam limbah sendiri, tidak menggunakan kolam
bekas Chevron. Bagaimanapun persoalan ini terjadi sebelum Pertamina masuk
sebagai pengelolah Blok Rokan," katanya.
[qnt]