WahanaNews.co | Kejaksaan Agung mengungkap peran Lin Che Wei (LCW) sebagai pihak yang mengusulkan kepada Kementerian Perdagangan untuk mengeluarkan kebijakan Domestik Market Obligation (DMO) sebesar 20 persen.
Jaksa Agung Muda bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Febrie Adriansyah, mengatakan, Lin Chen Wei memengaruhi sejumlah pihak di Kementerian Perdagangan untuk menerima usulannya tersebut dan dijadikan sebagai kebijakan terkait tata kelola CPO ini.
Baca Juga:
3 Perusahaan Eksportir CPO Bayar Lin Che Wei Jadi Konsultan
“Iya, dia yang mengusulkan kebijakan ini. LCW jugalah yang meyakinkan beberapa pihak," kata Febrie di Kejaksaan Agung, menanggapi dakwaan terhadap lima terdakwa kasus dugaan korupsi terkait fasilitas izin ekspor CPO, Rabu (31/8/2022).
Dalam usulan itu, Lin Chen Wei juga memasukan sejumlah kepentingan dari para pengusaha kelapa sawit.
Terlebih, Lin Chen Wei merupakan konsultan dari sejumlah perusahaan kelapa sawit.
Baca Juga:
Jadi Tersangka Baru, Kejagung Telusuri Peran LCW di Kemendag
"Saya nggak bisa sebut bilang begitu (LCW aktor utama). Kami pastikan dia juga terima gaji dari perusahaan-perusahaan itu. Jadi, masing-masing terdakwa ada kerjasamannya. Makanya disertakan Pasal 55 KUHP itu. Kalau ada yang tak setuju pasti tidak jadi kebijakan ini,” tandas Febrie.
Atas usulan kebijakan yang dibuatnya itu, kata Febrie, Lin Chen Wei melakukan sejumlah lobi kepada para pengusaha kelapa sawit yang tak lolos DMO.
Ia memberikan jalan keluar agar para pengusaha itu tetap bisa melakukan ekspor tanpa memenuhi kebijakan DMO 20% itu.
“Kepentingan perusahaan itulah yang dia lobi. Bagaimana caranya mendapatkan izin ekspor tanpa memenuhi kuota DMO. Makanya jadilah ini kebijakannya,” tambah Febrie.
Pada Rabu (31/8/2022), Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) DKI Jakarta menggelar sidang dengan agenda pembacaan dakwaan terhadap lima terdakwa dalam kasus ini.
Para terdakwa itu adalah mantan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan RI, Indrasari Wisnu Wardhana, dan Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia, Master Parulian Tumanggor.
Kemudian, Senior Manager Corporate Affair PT Victorindo Alam Lestari, Stanley MA; General Manager (GM) Bagian General Affair PT Musim Mas, Pierre Togar Sitanggang; Penasihat Kebijakan/Analis pada Independent Research & Advisory Indonesia (IRAI) dan Tim Asistensi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei.
Dalam sidang, penuntut umum memaparkan peran Weibinanto Halimdjati atau Lin Che Wei pada kasus korupsi minyak goreng.
Lin Che Wei disebut di persidangan oleh jaksa membuat analisis realisasi beberapa perusahaan yang mempengaruhi Indra Sari Wisnu Wardhana selaku Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan memberikan izin ekspor ke beberapa pelaku usaha kala itu.
Dalam dakwaan yang dibaca jaksa, Lin Che Wei adalah anggota Tim Asistensi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.
Tetapi, walaupun Lin Che Wei adalah Tim Asistensi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, dia tak pernah mendapatkan penugasan/penunjukan sebagai advisor atau sebagai analisis pada Kementerian Perdagangan.
Meski begitu, Lin Che Wei diikutsertakan pada pembahasan kelangkaan minyak goreng oleh Kemendag.
Peran Lin Che Wei pada kasus minyak goreng dimulai sejak 14 Januari 2022.
Dalam rapat itu, Lin Che Wei mengusulkan mengenai besaran DMO 20% melalui diskresi Mendag dengan mengadakan joint konsorsium dan kebun berkewajiban untuk mensuplai CPO sesuai luas lahan.
Usulan itu diterima Muhammad Lutfi selaku Menteri Perdagangan kala itu.
Dalam rapat itu, turut dibicarakan mengenai adanya pemberian kemudahan kepada pelaku usaha untuk mengatur sendiri (self regulation) mengenai keberimbangan antara ekspor dan minyak goreng yang didistribusikan di dalam negeri.
Pertemuan tersebut menyepakati tiga hal, di antaranya pelarangan dan pembatasan (Lartas) ekspor CPO, tidak dimasukkannya DMO 20% secara tegas pada kebijakan yang bakal diundangkan dan besaran DMO 20% atau diskresi Menteri Perdagangan lewat konsorsium, juga pemberian subsidi melalui BPDPKS.
Kemudian, Lin Che Wei juga mengikuti Rakortas di Kemenko Perekonomian.
Dalam Rakortas tersebut berhasil disepakati sejumlah hal yaitu harga minyak goreng semua kemasan sebesar Rp 14.000/liter di seluruh Indonesia, ukuran kemasan 5 liter dan 25 liter diakomodir terutama untuk memenuhi kebutuhan pelaku usaha UMKM dan alokasi anggaran.
JPU menyebut, ia juga menjembatani pengusaha minyak goreng dengan pihak Kemendag.
Disebutkan di dakwaan, Lin Che Wei pada 10 Februari 2022 pernah menghubungi Lutfi sebagai Mendag untuk menyampaikan sejumlah keluhan pengusaha minyak mengenai Permendagri Nomor 8 Tahun 2022.
Atas keluhan Lin Che Wei tersebut dia menyelenggarakan dua zoom meeting pada siang serta sore hari.
Dalam rapat online itu terdapat Indra Sari Wisnu Wardhana dan beberapa pengusaha.
Dia melangsungkan rapat online dan menjembatani pengusaha dan Kemendag beberapa kali.
"Meskipun mengetahui realisasi DMO minyak goreng di pasar dalam negeri tidak dipenuhi oleh pelaku usaha, namun Lin Che Wei tetap membuat analisis realisasi komitmen (pledge) dari pelaku usaha, dan analisis realisasi pledge tersebut diserahkan kepada Terdakwa Indra Sari Wisnu Wardhana yang selanjutnya dijadikan dasar dalam penerbitan persetujuan ekspor kepada pelaku usaha," ujar jaksa.
Jaksa menyampaikan, pada 24 Februari 2022, Lin Che Wei mengatakan kepada Indra Sari Wisnu lewat chat WhatsApp agar memastikan skema distribusi minyak goreng yang dilakukan pelaku usaha lewat pledge selama sebulan masih bersifat volunteer dan skema DMO masih belum diberlakukan.
Padahal, kenyataannya tak seperti itu.
"Lin Che Wei telah membuat dan memberikan laporan realisasi komitmen (pledge) dalam bentuk tabel meskipun kenyataannya tidak menggambarkan kondisi yang sesungguhnya karena sebenarnya minyak goreng di pasar dalam negeri masih terjadi kelangkaan dan jika pun ada harga minyak goreng mahal berada di atas angka HET yang ditetapkan Pemerintah," tambah jaksa.
Di persidangan perdana ini, Jaksa Kejaksaan Agung mendakwa lima terdakwa kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) merugikan negara sejumlah Rp 18.359.698.998.925 (Rp 18,3 triliun). [gun]