WahanaNews.co | Hakim Yustisial Mahkamah Agung (MA) Edy Wibowo diduga menerima suap Rp 3,7 miliar terkait penanganan kasasi Yayasan Rumah Sakit (RS) Sandi Karsa Makassar (SKM).
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri mengungkapkan, perkara ini berawal ketika PT Mulya Husada Jaya menggugat penundan kewajiban pembayaran utang (PKPU) kepada Yayasan RS Sandi Karsa Makassar.
Baca Juga:
Soal OTT Capim KPK Johanis Tanak dan Benny Mamoto Beda Pandangan
Gugatan dilayangkan di Pengadilan Negeri Makassar. Majelis hakim pada pengadilan tingkat I tersebut menyatakan Yayasan RS Sandi Karsa Makassar pailit.
“Majelis hakim kemudian memutuskan bahwa Yayasan RS Sandi Karsa Makassar dinyatakan pailit dengan segala akibat hukumnya,” kata Firli dalam konferensi pers di KPK, dikutip Selasa (20/12).
Merasa keberatan atas putusan ini, pihak RS Sandi Karsa Makassar mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Baca Juga:
Korupsi APD Kemenkes, KPK Ungkap Satu Tersangka Beli Pabrik Air Minum Kemasan Rp60 Miliar
Mereka meminta agar putusan Pengadilan Negeri Makassar yang menyatakan yayasan tersebut bangkrut ditolak.
“Memutus Yayasan Rumah Sakit SKM tidak dinyatakan pailit,” ujar Firli.
Menurut Firli, pada Agustus 2022, Ketua Yayasan RS Sandi Karsa Makassar bernama Wahyudi Hardi mendekati dua PNS di MA. Mereka adalah Muhajir Habibie dan Albasri.
Wahyudi meminta kedua pegawai MA itu memantau dan mengawal proses kasasi yang diajukan Yayasan RS Sandi Karsa Makassar.
KPK menduga Wahyudi bersepakat dengan Albasri dan Muhajir untuk kepentingan pengawalan ini.
“Sebagai tanda jadi kesepakatan, diduga ada pemberian sejumlah uang secara bertahap hingga mencapai sekitar Rp 3,7 miliar kepada Edy Wibowo,” ujar Firli.
Adapun suap diberikan melalui Muhajir dan Albasri. Penyerahan uang dilakukan di Mahkamah Agung ketika proses kasasi masih berlangsung.
Tujuannya, mempengaruhi isi putusan permohonan kasasi yang diajukan RS Sandi Karsa Makassar.
“Setelah uang diberikan maka putusan kasasi yang diinginkan Wahyudi Hardi dikabulkan dan isi putusan menyatakan RS Sandi Karsa Makassar tidak dinyatakan pailit,” kata Firli.
Adapun perkara ini berawal dari operasi tangkap tangan (OTT) KPK terhadap hakim yustisial, pegawai MA, dan pengacara terkait perkara Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Intidana.
Setelah melakukan penyidikan, KPK menemukan alat bukti yang cukup untuk menetapkan Edy sebagai tersangka.
KPK sebelumnya menahan dua hakim agung, dua hakim yustisial MA, sejumlah pegawai negeri sipil (PNS) di MA, dua pengacara, serta sejumlah pihak swasta.
Mereka terseret dalam suap pengurusan perkara kasasi perdata dan pidana serta Peninjauan Kembali (PK) KSP Intidana.
Adapun nama-nama para tersangka tersebut antara lain Hakim Agung Gazalba Saleh, Hakim Yustisial sekaligus Panitera Pengganti pada Kamar Pidana Gazalba Saleh bernama Prasetio Nugroho yang juga diketahui sebagai asisten Gazalba Saleh. Kemudian, Staf Gazalba Saleh, Redhy Novarisza
Sebelum ketiga orang itu sebagai pelaku, KPK telah menetapkan 10 tersangka. Mereka adalah Hakim Agung Sudrajad Dimyati, panitera pengganti MA Elly Tri Pangesti, PNS kepaniteraan MA Desy Yustria dan Muhajir Habibie, serta PNS MA Albasri dan Nuryanto Akmal. Mereka ditetapkan sebagai penerima suap.
Sementara itu, tersangka pemberi suapnya adalah Yosep Parera dan Eko Suparno selaku advokat, serta Heryanto dan Ivan Dwi Kusuma Sujanto selaku Debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana (ID).
Ditemui awak media di KPK, Yosep Parera mengaku dimintai uang sebesar sebesar 100.000 dollar Amerika Serikat, 220.000 dollar Singapura, dan 202.000 dollar Singapura oleh Desy.
Uang tersebut dimintakan terkait tiga perkara KSP Intidana di MA, yakni kasasi perdata, kasasi pidana, dan Peninjauan Kembali (PK).
“Ada 3 saya lupa ya, tanya pada penyidik ya. 100.000 dollar AS, kemudian 220 (ribu dollar Singapura), kemudian yang terakhir 202 (ribu dollar Singapura),” kata Yosep saat ditemui awak media di Gedung Merah Putih KPK, Jumat (2/12/2022). [rna]