WahanaNews.co | Kejaksaan Agung masih melakukan proses penyelidikan terhadap dugaan korupsi dalam pengelolaan dana investasi perusahaan BPJS Ketenagakerjaan (BPJS-TK).
Kasus itu masih bergulir di tengah polemik kebijakan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2022 yang membuat pencairan dana dari program Jaminan Hari Tua (JHT) baru bisa dilakukan pada usia pensiun 56 tahun.
Baca Juga:
Pemprov Sumatera Barat Tanggung Premi BPJS Ketenagakerjaan untuk 3.000 Nelayan
"Belum berhenti (penyidikan kasus). Sementara kerugian unrealized," kata Supardi saat dihubungi, Selasa (15/2/2022).
Diketahui, unrealized loss merupakan sebagian kerugian yang belum terealisasi dalam portofolio saham.
Supardi menjelaskan bahwa saat ini penyidik masih melakukan pendalaman terhadap penanganan perkara tersebut.
Baca Juga:
BPJS Ketenagakerjaan Melindungi Ratusan Kader Keluarga Berencana di Solo
Investasi yang dipakai oleh perusahaan pelat merah itu diketahui berasal dari himpunan dana masyarakat.
Adapun, sumber dana investasi salah satunya berasal dari iuran peserta program JHT.
Kemudian, ada pula dana iuran peserta program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Pensiun (JP), dan aset BPJS Naker.
Namun demikian, Supardi enggan menjelaskan secara rinci mengenai program investasi mana yang diendus oleh Kejagung lantaran diduga melanggar hukum.
"Nanti saatnya akan diputuskan hasilnya. Saya tidak mau bicara materi. Yang penting clue seperti tadi," ucap dia.
Berdasarkan Laporan Keuangan Audit BPJS Naker Tahun 2020, total dana investasi yang berasal dari iuran peserta JHT sebesar Rp340,751 triliun.
Angka itu jauh lebih besar ketimbang dana investasi dari JP (Rp79,437 triliun), JKK (Rp40,55 triliun), JKM (Rp14,653 triliun), dan aset BPJS Naker (Rp11,666 triliun).
Dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi IX DPR RI yang digelar pada (15/9/2021), Direktur Investasi BPJS Ketenagakerjaan Edwin Michael Ridwan mengatakan bahwa pihaknya masih menunggu payung hukum untuk memangkas kerugian (cut loss) dalam portofolio investasi agar tak masuk dalam ranah kerugian negara atau korupsi.
Dalam catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), portofolio investasi BPJS Ketenagakerjaan masih negatif Rp32,8 triliun per Juli 2021.
Nilai tersebut disebabkan unrealized loss penurunan kinerja saham yang diinvestasikan akibat pandemi Covid-19.
Kasus dugaan korupsi ini telah disidik oleh Kejagung sejak awal 2021 lalu. Surat perintah penyidikan nomor: Print-02/F.2/Fd.2/01/2021 diteken semasa Jaksa Agung Muda Pidana Khusus dijabat oleh Ali Mukartono.
Namun demikian, hingga saat ini belum ada tersangka yang ditetapkan oleh Kejaksaan.
Kala itu, Kejagung mengindikasikan ada dugaan kerugian mencapai Rp20 triliun dalam tiga tahun terakhir berkaitan dengan pengelolaan investasi.
Direktur Penyidikan yang kala itu menjabat, Febrie Adriansyah --sekarang Jampidsus-- mengatakan bahwa pihaknya ragu jika kesalahan penempatan investasi tersebut akibat risiko bisnis.
"Kalau itu kerugian atau risiko bisnis. Apakah analisanya sebodoh itu sampai menyebabkan kerugian Rp20 triliun," ucap dia. [rin]