WahanaNews.co | Ketua MPR RI, Bambang
Soesatyo alias Bamsoet, mengecam
keras klaim pemerintahan sementara Papua Barat yang diumumkan secara sepihak
oleh pimpinan United Liberation Movement
for West Papua (ULMWP), Benny Wenda.
Bahkan, di mata Bamsoet, tindakan Benny Wenda tersebut termasuk ke dalam kategori makar.
Baca Juga:
MPR Cabut Nama Soeharto dari TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998
"Atas
nama pimpinan MPR RI, saya menyatakan mengecam keras deklarasi yang
dilakukan Benny Wenda, seorang warga negara asing yang melakukan
tindakan makar dengan mengatasnamakan masyarakat Papua Barat," kata
Bamsoet, dalam konferensi pers di Kantor Kemenko Polhukam, Kamis (3/12/2020).
Bamsoet menegaskan dukungannya kepada pemerintah Indonesia untuk mengambil tindakan
tegas dan terukur. Segala hal yang dilakukan tiada lain demi mempertahankan
kedaulatan NKRI.
"Mendorong
segenap pemangku kepentingan termasuk pemerintah daerah untuk menyatukan tekad
dan menyatukan langkah dalam menegakkan persatuan kesatuan bangsa dalam bingkai
NKRI serta tidak terpengaruh dan terprovokasi oleh propaganda yang merongrong
dan mengancam kedaulatan NKRI," ujar dia.
Baca Juga:
Terima Ketum dan Pengurus PWI Pusat, Ketua MPR Dorong Peningkatan Kompetensi dan Profesionalitas Wartawan
Bamsoet
mengatakan pemerintah perlu memanggil Duta Besar Inggris. Pemerintah dinilai
perlu meminta penjelasan soal klaim pemerintahan sementara Papua Barat yang
diumumkan secara sepihak oleh Benny Wenda.
"Pemerintah
melalui menteri luar negeri, MPR berpandangan penting untuk memanggil dalam hal
ini melalui menteri luar negeri memanggil duta besar Inggris meminta
penjelasan," tutur dia.
Sementara
itu, Menko Polhukam,
Mahfud MD, berbicara soal penegakan hukum atas klaim
sepihak Benny Wenda. Mahfud meminta Polri bergerak.
"Menghadapi
kasus Wenda, yang pertama, dia telah mengajak melakukan makar
bahkan juga tadi MPR menyebut sudah mempunyai niat dan sudah melakukan makar
dan pemerintah menanggapi dengan meminta Polri melakukan penegakan hukum,"
kata Mahfud MD.
"Makar
itu, kalau skalanya kecil, itu cukup gakkum kriminil, tangkap menggunakan
pasal-pasal tentang kejahatan keamanan negara, kejahatan terhadap keamanan
negara, tadi disebut pasal 6 dan seterusnya sampai pasal 129 KUHP. Jadi cukup
gakkum. Ini tidak terlalu besar, kalau soal ini. Mengapa?" sebut
Mahfud MD.
Mahfud
lalu menjabarkan soal negara ilusi yang dibentuk Benny Wenda di Papua. Dia
menyebut Benny Wenda tak memenuhi syarat pembentukan sebuah negara.
"Menurut
kami Benny Wenda ini membuat negara ilusi, negara yang tidak ada sebenarnya
dalam faktanya. Papua Barat itu apa? Karena negara itu syaratnya ada 3 dan ada
1 menurut Montevideo Convention syaratnya itu ada rakyat yang dia kuasai, ada
wilayah yang dia kuasai, kemudian ada daerahnya, ada pemerintahnya," kata
Mahfud MD.
Sebelumnya,
pengumuman soal Papua Barat ini disampaikan Benny Wenda di akun Twitter-nya, Selasa (1/12/2020).
Benny
Wenda memanfaatkan momen 1 Desember yang diklaim OPM sebagai hari kemerdekaan
Papua Barat.
"Today, we announce the formation of our
Provisional Government of #WestPapua. From today, December 1, 2020, we begin
implementing our own constitution and reclaiming our sovereign land,"
tulis Benny Wenda, seperti dilihat pada Rabu (2/12/2020).
Guru besar
hukum internasional dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof Hikmahanto Juwana, memberikan tanggapan tentang kebiasaan kelompok
proseparatis Papua yang selalu memanfaatkan momen tertentu untuk kepentingannya
dan kali ini memanfaatkan momen 1 Desember.
Pernyataan
Hikmahanto ini juga dimuat dalam keterangan pers yang disampaikan oleh TNI.
Terkait
deklarasi pemerintahan sementara Papua Barat, Hikmahanto menjelaskan bahwa di
dalam hukum internasional, deklarasi ini tidak ada dasarnya. Dan karena itu,
kata dia, tidak diakui oleh negara lain.
Ketika
ditanya tentang negara-negara Pasifik yang selama ini menunjukkan dukungannya,
Hikmahanto menegaskan bahwa hal tersebut tidak dapat menjadi tolok ukur karena
akan mengganggu hubungan antarnegara.
"Kalaulah
ada yang mengakui, negara-negara yang mengakui ada negara Pasifik yang secara
tradisional mendukung Papua Merdeka. Negara-negara ini tidak bisa menjadi dasar
bagi pengakuan pemerintahan sementara yang dibentuk," kata Hikmahanto. [dhn]