WAHANANEWS.CO, Jakarta - Ketika ribuan pekerja migran Indonesia masih berjuang mencari keadilan di negeri orang, langkah konkret akhirnya hadir lewat sinergi antara Kongres Advokat Indonesia (KAI) dan Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI).
Kolaborasi ini merupakan upaya sistematis untuk menghadirkan keadilan yang bisa menjangkau mereka yang selama ini terabaikan.
Baca Juga:
AS-Korsel Tegang, 316 Pekerja Hyundai-LG Dipulangkan Setelah Ditahan di Georgia
Sinergi kedua lembaga ini, yang resmi dimulai Kamis (9/10/2025) di kantor BP2MI Jakarta, menandai babak baru dalam mekanisme perlindungan hukum pekerja migran.
Tujuannya jelas: menghadirkan layanan bantuan hukum yang profesional, transparan, dan akuntabel bagi para pekerja migran Indonesia yang kerap terjerat persoalan hukum di luar negeri.
Kolaborasi ini merupakan tindak lanjut dari penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara Ketua Umum KAI Siti Jamaliah Lubis dan Menteri PPMI Abdul Kadir Karding pada 17 Maret lalu.
Baca Juga:
Danrem 042/Gapu Hadiri Gerakan Tanam Padi Serentak di Batanghari: Wujud Nyata Dukung Ketahanan Pangan Nasional
Melalui MoU tersebut, kedua pihak menyepakati pembentukan jaringan advokasi terpadu yang mampu memberikan bantuan hukum cepat dan terukur bagi pekerja migran di berbagai negara penempatan.
Wakil Ketua Umum DPP KAI Mohamad Lukman Chakim menegaskan bahwa perjanjian kerja sama (PKS) ini memperkuat komitmen yang telah dirintis sejak Maret lalu.
“Perjanjian ini menjadi landasan penting bagi sinergi antara KAI dan Kementerian dalam penyediaan bantuan hukum bagi para pekerja migran. Kami menyadari bahwa para pekerja migran sering berada dalam posisi rentan, sehingga perlindungan hukum bukan lagi pilihan, tetapi keharusan,” ujarnya.
KAI akan menugaskan advokat berintegritas tinggi dan berpengalaman dalam menangani kasus pekerja migran, termasuk advokasi hukum, konsultasi, penyusunan strategi penyelesaian, serta jaminan kerahasiaan data dan informasi.
Selain itu, KAI berkomitmen melaksanakan tugas dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas, serta melaporkan perkembangan penanganan kasus secara berkala kepada Direktorat Jenderal Pelindungan Kementerian PPMI.
Ketua Umum KAI Siti Jamaliah Lubis menilai kolaborasi ini sebagai langkah moral dan hukum untuk mengembalikan martabat pekerja migran. Ia menyebut berbagai tragedi yang menimpa para PMI sebagai alarm bagi negara untuk hadir lebih kuat.
Salah satu kisah yang mengguncang publik adalah Yetti Purwaningsih (52), pekerja migran asal Banyumas, Jawa Tengah, yang meninggal dunia di Lima, Peru, pada 22 Februari 2025.
Hingga kini, keluarganya belum mampu memulangkan jenazah karena biaya pemulangan mencapai lebih dari Rp200 juta.
Kasus lain datang dari SW (38), pekerja asal Kota Banjar yang terjebak di Brunei Darussalam setelah diberangkatkan secara ilegal dengan visa kunjungan. Ia menjadi korban perdagangan manusia (TPPO) dan hingga kini proses hukumnya berjalan lamban.
Menurut Siti, kedua kasus itu menunjukkan bagaimana lemahnya jaringan advokasi bagi pekerja migran di luar negeri.
“Mereka bukan sekadar angka di statistik tenaga kerja, mereka adalah manusia yang membawa harapan keluarga. Karena itu, perlindungan hukum harus menjadi napas dari diplomasi tenaga kerja kita,” tegasnya.
Menteri PPMI Abdul Kadir Karding menyambut kolaborasi ini sebagai langkah strategis membangun sistem perlindungan hukum yang berkelanjutan.
Ia menyoroti masih maraknya pengiriman ilegal ke Arab Saudi dan Kamboja, meski telah dilarang sejak 2015, dengan sekitar 25.000 pekerja migran berangkat secara ilegal setiap tahun.
Ia juga menyinggung kasus tragis Rizal Sampoerna, pekerja asal Banyuwangi yang meninggal akibat penyiksaan di Kamboja pada April 2025.
“Kasus Rizal menjadi bukti bahwa kehadiran negara harus dirasakan sampai titik paling rentan dari warganya,” kata Karding.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]