WAHANANEWS.CO, Jakarta - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Setyo Budiyanto menegaskan bahwa meskipun jumlah personel lembaga tersebut terbatas, KPK tetap mampu melakukan penyelidikan secara tertutup dan mengungkap tindak pidana korupsi di berbagai daerah.
"Kami bisa berada di mana saja. Walaupun jumlah kami tidak banyak, tetapi kami dapat menempatkan personel secara selektif dan prioritas," ujar Setyo dalam Rapat Koordinasi Wilayah Penguatan Integritas dan Pemantapan Sistem Pencegahan Korupsi Pasca-Pelantikan Kepala Daerah di Jogja Expo Center (JEC), Yogyakarta, Rabu (19/3/2025).
Baca Juga:
KPK: Potensi kerugian Negara Kasus LPEI Capai Rp11,7 Triliun
Acara tersebut dihadiri oleh kepala daerah dari DIY, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan.
Dalam kesempatan itu, Setyo mengingatkan bahwa KPK memiliki jangkauan luas dan dapat hadir di mana saja untuk menindak praktik korupsi.
Sebagai contoh, Setyo menyinggung operasi tangkap tangan (OTT) yang menjerat pejabat di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan, beberapa hari lalu.
Baca Juga:
Setelah OTT, KPK Kumpulkan Bukti di Kantor DPRD OKU
Meskipun lokasinya jauh dari ibu kota provinsi, tim KPK tetap mampu menjangkau dan menangkap para pelaku.
"Tempatnya cukup terpencil, berjarak beberapa jam dari ibu kota provinsi, tetapi tetap terdeteksi oleh KPK," katanya.
Kasus tersebut mencuat setelah anggota DPRD diduga meminta jatah anggaran pokok pikiran (pokir) dalam pembahasan APBD 2025.
Pokir, yang seharusnya digunakan untuk mengakomodasi aspirasi masyarakat, malah dikonversi menjadi proyek fisik di Dinas PUPR Kabupaten OKU dengan imbalan fee sebesar 20 persen dari total anggaran Rp35 miliar.
"Pokir ini sebenarnya hanya untuk menyalurkan aspirasi masyarakat melalui legislatif. Namun, ketika disalahgunakan, maka itu menjadi masalah," ungkap Setyo.
Ia menambahkan bahwa kasus di Kabupaten OKU hanyalah bagian kecil dari persoalan korupsi di Indonesia.
Menurutnya, praktik korupsi ibarat fenomena gunung es, di mana yang tampak hanya sebagian kecil, sedangkan di bawahnya masih banyak bentuk lain seperti suap pengadaan barang dan jasa, jual beli jabatan, serta penyalahgunaan wewenang dalam perizinan.
"Sering kali ada praktik eksklusif, keterlibatan orang dalam, jual beli jabatan, dan makelar proyek. Jika tidak ada keterlibatan orang dalam, maka praktik ini tidak akan berjalan," jelasnya.
Meski sistem pengadaan barang dan jasa terus diperbaiki, termasuk melalui pembaruan e-katalog versi 6 oleh LKPP, masih ada celah bagi pelaku korupsi untuk memanipulasinya.
"Sehebat apa pun sistem yang dibuat, kalau masih ada yang bermain di belakang layar, maka peluang korupsi tetap ada," tegasnya.
Setyo menegaskan bahwa KPK tidak hanya berfokus pada pusat pemerintahan, tetapi juga aktif mengawasi daerah.
Ia berharap kasus di Kabupaten OKU menjadi peringatan bagi daerah lain agar lebih berhati-hati dalam mengelola anggaran.
"Mudah-mudahan di Kalimantan Selatan, Barat, Tengah, Jawa Timur, DIY, dan Jawa Tengah tidak ada kasus serupa," ujarnya.
Menurutnya, peluang korupsi dapat diminimalkan jika perencanaan dan penganggaran daerah dilakukan secara transparan dan diawasi dengan ketat.
"Jika penganggaran sudah sesuai aturan dan perencanaannya baik, maka tata kelola pemerintahan akan lebih tertata," katanya.
Setyo juga mendorong kepala daerah untuk memperbaiki sistem pengelolaan anggaran agar dapat meningkatkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia.
"Perbaikan sistem anggaran dan pengawasan yang lebih ketat akan berkontribusi terhadap peningkatan IPK, yang dipengaruhi oleh faktor demokrasi, politik, ekonomi, dan keamanan," tutupnya.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]