WAHANANEWS.CO, Jakarta - Di tengah meningkatnya tensi politik dan tekanan terhadap penegakan hukum, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) mengambil langkah mengejutkan dengan menugaskan prajurit untuk mengamankan kantor kejaksaan di seluruh Indonesia.
Langkah ini sontak memicu gelombang reaksi dari publik, terutama dari kalangan masyarakat sipil yang menganggap langkah itu sebagai bentuk "pembauran" militer ke ranah sipil.
Baca Juga:
Dalam rangka Memeriahkan Hari Bhayangkara ke-79, Polres Subulussalam Laksanakan Olahraga Bersama
Instruksi tersebut tertuang dalam Surat Telegram Nomor ST/1192/2025 yang diteken langsung oleh Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Jenderal Maruli Simanjuntak, pada 6 Mei 2025.
Berdasarkan isi telegram tersebut, TNI AD akan mengirimkan pasukan ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) dan Kejaksaan Negeri (Kejari) di seluruh Indonesia.
Namun, keputusan ini tidak berjalan tanpa kritik. Koalisi Masyarakat Sipil menganggap pengerahan prajurit TNI ke institusi penegakan hukum sipil sebagai langkah yang melanggar konstitusi.
Baca Juga:
Siaga Merah di Kualanamu: Ancaman Bom Guncang Bandara, Jemaah Haji Dievakuasi
Mereka menilai keputusan itu tidak memiliki pijakan hukum yang jelas dan berpotensi menjadi bentuk intervensi militer di wilayah sipil.
“Perintah ini bertentangan dengan konstitusi, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, UU Kejaksaan, UU Pertahanan Negara, dan UU TNI. Tugas dan fungsi TNI sudah diatur secara eksplisit, dan ini jelas melampaui batas,” demikian pernyataan Koalisi Masyarakat Sipil yang dikutip dari Kompas.com, Minggu (11/5/2025).
Menanggapi kritik tersebut, Kepala Dinas Penerangan TNI AD (Kadispenad), Brigjen TNI Wahyu Yudhayana, menegaskan bahwa pengamanan kejaksaan adalah bagian dari kerja sama rutin yang telah berlangsung lama antara TNI dan Kejaksaan Agung.
Ia juga menekankan bahwa surat telegram itu bukanlah respons terhadap situasi luar biasa atau genting.
“Ini hanya bagian dari bentuk dukungan TNI kepada aparat penegak hukum, sebagai langkah pencegahan dan pengamanan yang sifatnya rutin,” ujar Wahyu, dikutip dari Antara, Minggu (11/5/2025).
Adapun komposisi pasukan yang akan diterjunkan, menurut Wahyu, terdiri dari satu peleton atau sekitar 30 prajurit di tiap Kejaksaan Tinggi, dan satu regu atau 10 personel untuk tiap Kejaksaan Negeri.
Namun, jumlah riil prajurit di lapangan akan menyesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan setempat, biasanya dibagi dalam kelompok kecil berisi dua sampai tiga orang.
Dukungan militer ini bukan tanpa dasar kerja sama. Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, Mayjen Kristomei Sianturi, mengungkapkan bahwa pengamanan tersebut merupakan bagian dari delapan ruang lingkup kerja sama antara TNI dan Kejaksaan Agung.
Ini mencakup pendidikan, pelatihan, pertukaran informasi, hingga penugasan prajurit maupun jaksa di kedua institusi.
“Semua bentuk dukungan dilakukan secara profesional, netral, dan berdasarkan permintaan resmi. Ini juga sesuai dengan tugas TNI yang diatur undang-undang untuk melindungi segenap bangsa,” ujar Kristomei.
Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, mengonfirmasi bahwa pengamanan oleh prajurit TNI adalah bentuk sinergi antara dua institusi negara.
Namun, ia juga menyampaikan bahwa teknis dan waktu pelaksanaan pengamanan masih dalam tahap pembahasan.
“Ini bentuk kerja sama institusional. Apalagi kami juga memiliki Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Militer (Jampidmil), jadi koordinasi dengan TNI sangat relevan,” kata Harli.
Meski disebut sebagai langkah sinergi dan pencegahan, pengerahan tentara ke lembaga hukum tetap menyisakan tanda tanya besar di tengah masyarakat: apakah ini bentuk kemunduran demokrasi, atau hanya bentuk penguatan koordinasi antar-lembaga negara?
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]