WahanaNews.co | Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji formil
revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Selasa (4/5/2021).
Gugatan diajukan oleh Pimpinan KPK
Jilid IV, Agus Rahardjo, Laode Muhammad Syarif, Saut Situmorang, dan 11 pemohon lainnya.
Baca Juga:
Babak Baru UU Cipta Kerja: MK Menangkan Gugatan, Revisi Menyeluruh Segera Dilakukan
"Mahkamah berkesimpulan, para
pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, permohonan provisi tidak
beralasan menurut hukum, pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum. Amar
putusan, mengadili; menolak permohonan provisi para pemohon dalam pokok
permohonan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ujar Hakim
Ketua MK, Anwar Usman, saat
membacakan amar putusan di Gedung MK, Jakarta, Selasa (4/5/2021).
Putusan diwarnai dissenting opinion atau perbedaan pendapat dari seorang anggota
hakim, yakni Wahiduddin.
Adapun anggota majelis hakim, Arief
Hidayat, saat membacakan pertimbangan,
menyatakan bahwa dalil pemohon yang menyebut UU KPK tidak melalui prolegnas dan
terjadi penyelundupan hukum dinilai tidak beralasan menurut hukum.
Baca Juga:
MK Kabulkan 70% Tuntutan Buruh, Serikat Pekerja Rayakan Kemenangan Bersejarah dalam Revisi UU Cipta Kerja
"RUU tersebut telah terdaftar
dalam Prolegnas dan berulang kali dalam Prolegnas prioritas. Lama tidaknya
pembentukan perundang-undangan berkaitan erat dengan substansi dari RUU
tersebut, dalam hal ini tidak dapat disamakan tingkat kesulitan RUU,"
terang Arief.
"Terutama untuk mengharmonisasi
antara satu dan yang lain, sehingga tidak menutup kemungkinan terjadi perbedaan
waktu. Lama atau tidaknya proses tidak berkaitan dengan dalil para pemohon yang
mensinyalir adanya penyelundupan RUU," lanjut Arief, membacakan salah satu pertimbangan.
Majelis hakim juga menilai, dalil pemohon yang menyatakan naskah draf revisi UU KPK ini
fiktif adalah tidak beralasan menurut hukum.
Lebih lanjut, hakim
konstitusi juga menyatakan, pembentukan undang-undang telah
sesuai prosedur.
Adapun para pemohon perkara Nomor 79/PUU-XVII/2019 sebelumnya mencatat empat permasalahan utama
proses pembentukan maupun substansi UU KPK.
Beberapa di antaranya Presiden dan DPR
dianggap menihilkan nilai demokrasi saat membahas revisi UU KPK.
Hal itu terlihat ketika publik dan KPK
tidak dilibatkan selama pembahasan revisi.
Menurut pemohon, hal itu bertentangan
dengan Pasal 96 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
Selain itu, revisi UU
KPK dianggap sarat kepentingan politik.
Kesimpulan ini muncul lantaran produk
legislasi dihasilkan secara kilat, yakni 14 hari kerja.
Tak hanya itu, menurut pemohon, revisi
UU KPK sejak awal tidak masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas
2019, namun tetap dipaksakan.
Pengesahan revisi UU KPK di DPR
menurut pemohon juga tidak memenuhi kriteria kuorum.
Tapi, soal ini,
hakim konstitusi menilai, pemohon tak dapat membuktikan dalil
tersebut.
Adapun 11 pemohon lain perkara 79
ialah Erry Riyana Hardjapamekas, Moch Jasin, Omi Komaria Madjid, Betti S
Alisjahbana, Hariadi Kartodihardjo, Mayling Oey, Suarhatini Hadad, Abdul Ficar
Hadjar, Abdillah Toha, Ismid Hadad, dan Natalia Soebagjo.
Selain perkara Nomor 79, MK menerima satu gugatan formil lain bernomor
62/PUU-XVII/2019.
Adapun empat gugatan berupa pengujian
formil dan materiil dengan nomor perkara 59/PUU-XVII/2019, 70/PUU-XVII/2019,
71/PUU-XVII/2019, 73/PUU-XVII/2019.
Sementara satu perkara, yakni nomor 77/PUU-XVII/2019, berupa
gugatan materiil.
Gugatan atas revisi yang dimaksud
adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 hasil perubahan Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2020 tentang KPK.
Proses gugatan pengujian revisi UU KPK
ini memakan waktu hingga lebih setahun.
Juru Bicara Mahkamah Konstitusi, Fajar Laksono, beralasan, lamanya
pembahasan lantaran terpotong sidang sengketa Pilkada 2020.
Sejumlah pihak menyatakan dukungan ke
hakim MK untuk mengabulkan gugatan dan mencabut hasil revisi UU KPK.
Pelbagai alasan mengemuka dari
kalangan akademisi hingga pegiat antikorupsi, salah satunya soal anggapan bahwa
revisi UU ini justru melemahkan pemberantasan korupsi dan kelembagaan KPK. [qnt]