WahanaNews.co, Jakarta – Usulan untuk menghapus Pasal 39 huruf c dalam revisi UU TNI yang tengah bergulir dikritik Kepala Center for Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE) Anton Aliabbas.
Pasal itu mengatur soal larangan bagi prajurit untuk terlibat dalam kegiatan bisnis.
Baca Juga:
Penyebutan KKB Jadi OPM Disebut Pengamat Langkah Maju dari Pemerintah
Anton menilai usulan penghapusan larangan berbisnis bagi anggota TNI jelas merupakan bentuk indikasi kemunduran dari reformasi TNI.
"Kenapa? Karena ide ini sebenarnya sudah muncul 20 tahun lalu ketika pembahasan UU TNI. Dalam pembahasan RUU TNI tahun 2004 lalu jelas bahwa ketika negara ingin membentuk Tentara Nasional Indonesia yang profesional maka salah satu indikasinya adalah negara mengambil alih semua bisnis militer baik yang langsung maupun tidak langsung," kata Anton saat dihubungi, Selasa (16/7) mengutip CNN Indonesia.
"Dengan kata lain negara ingin menempatkan TNI sebagai alat pertahanan negara yang utama," imbuhnya.
Baca Juga:
Peminat Program Hapus Tato Gratis Meningkat di Jakarta Pusat
Ia menjelaskan setidaknya ada tiga alasan yang menjadi dasar pelarangan TNI terlibat bisnis.
Pertama, inti kompetensi TNI adalah menjaga kedaulatan untuk mempertahankan negara. Ia mengatakan terlibat bisnis jauh dari inti kompetensi itu
"Kedua, untuk mencegah yang namanya adanya konflik kepentingan. Karena bagaimanapun juga sekarang ada banyak anggapan ada oknum-oknum yang masih berbisnis menjaga instansi bisnis dan lain-lain. Kita ingin mencegah itu," ujarnya.
Sementara alasan ketiga, negara tidak ingin menjadikan TNI menjadi tentara niaga.
"Tentara yang tadinya cuma fokus untuk menjadi alat pertahanan negara kemudian juga memikirkan bisnis. Negara tidak menginginkan itu. Karena itulah kemudian klausa pelarangan bisnis menjadi penting," ujarnya.
Di sisi lain, ia mengatakan kontrol terhadap izin untuk membolehkan TNI berbisnis juga berat. Sebab, akan sulit kapan membedakan kapan urusan pribadi, kapan urusan institusi.
"Karena kemudian kalau yang berbisnisnya adalah pimpinan maka pimpinan bisa saja kemudian menyalahgunakan kewenangan dan mencampuradukan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan institusi dan ini tentunya yang kita khawatirkan," katanya.
Menurutnya, jika alasannya untuk pemenuhan kebutuhan anggaran pertahanan dan kesejahteraan, seharusnya masalah itu diserahkan kepada negara.
"Saya pikir dengan kita punya presiden yang mempunyai pengalaman dengan dunia kemiliteran, saya pikir sudah cukup paham bagaimana kemudian negara memikirkan alternatif pendanaan," katanya.
Lebih lanjut, kata Anton, pendanaan alternatif juga bukan berarti mencari sumber lain, tetapi memaksimalkan anggaran yang dimiliki, lalu memperbaiki tata kelola.
"Saya pikir terobosan untuk menyiasati keterbatasan anggaran pertahanan tidak perlu kemudian membuka ruang dibolehkannya lagi bisnis militer. Kenapa? Karena pengalaman sudah menunjukkan bisnis militer tidak selamanya itu ditujukan untuk kesejahteraan prajurit TNI," ujarnya.
Usulan penghapusan ini sebelumnya mencuat dalam acara Dengar Pendapat Publik RUU Perubahan UU TNI yang digelar Kemenko Polhukam pada Kamis (11/7).
Dalam acara itu, Kepala Badan Pembinaan Hukum (Kababinkum) TNI Laksamana Muda (Laksda) Kresno Buntoro menjelaskan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto telah menyurati Menko Polhukam Hadi Tjahjanto agar membahas beberapa pasal lain dalam revisi UU TNI.
Salah satunya adalah pasal 39 huruf c itu. Kresno mencontohkan istrinya yang memiliki usaha warung di rumah. Menurutnya, hal itu membuat dirinya mau tidak mau terlibat dalam kegiatan itu.
"Kalau ini diterapkan maka saya kena hukuman. Prajurit dilarang terlibat di dalam bisnis. Istri saya, saya kan pasti mau nggak mau terlibat. Wong aku nganter belanja dan sebagainya. Terus apakah ini eksis? sekarang, kalau saya diperiksa saya bisa kena. Oleh karena itu kita sarankan ini dibuang," ujar Kresno.
Menurutnya, yang seharusnya dilarang terlibat kegiatan bisnis adalah institusi TNI, bukan prajurit TNI.
"Tapi kalau prajurit, mau buka warung kelontong aja ndak. Ada driver saya setelah nganter saya. Kebetulan saya mendapat driver supir sekarang ini. Dia selesai magrib, itu kadang-kadang, atau Sabtu-Minggu itu dia ngojek. Dia melakukan bisnis. Masa nggak boleh kayak begitu?" katanya.
[Redaktur: Alpredo Gultom]