WahanaNews.co | Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merilis, Calon Bupati Solok, Epyardi Asda, menjadi Calon Kepala Daerah
terkaya di Pilkada Sumatera Barat 2020, berdasarkan Laporan Harta Kekayaan
Penyelenggara Negara (LHKPN), yakni mencapai Rp 73,06
miliar.
Jumlah itu diikuti Calon Wakil Gubernur Sumbar, Audy
Djoinaldy, senilai Rp 58,1 miliar, dan Calon Bupati Limapuluh Kota, Muhammad
Rahmad, yang memiliki kekayaan Rp 53,4 miliar, disusul Calon Bupati Tanah Datar, Hariadi, yang tercatat memiliki kekayaan
senilai Rp 47,9 miliar.
Baca Juga:
MK Koreksi Total Jadwal Pemilu, Pemilih Tak Lagi Harus Mencoblos 5 Kotak Sekaligus
Selain memiliki jumlah kekayaan yang
besar, ada juga calon yang dicatat KPK dengan kekayaan yang minus atau
jumlah harta lebih kecil dari hutang yang dimiliki.
Mulai dari Calon Wakil Bupati
Sijunjung, Indra Gulanan, yang tercatat minus Rp 3,5
miliar, lalu Calon Wakil Bupati Padang Pariaman, Tri Suryadi, memiliki kekayaan minus Rp 998 juta.
Calon Wakil Bupati Pesisir Selatan, Hamdanus, minus Rp 295,8 juta, dan Calon Bupati Limapuluh Kota, Ferizal Ridwan, yang tercatat memiliki kekayaan minus
Rp 121,7 juta.
Baca Juga:
Pemilihan di Daerah Mundur ke 2031, Ini Putusan Mengejutkan MK soal Pilkada dan DPRD
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), Lili Pintauli Siregar, di Padang, Kamis (26/11/2020), mengatakan, hasil
survei KPK dan beberapa pihak lainnya memperlihatkan ada selisih antara biaya Pilkada dengan kemampuan harta pribadi para calon.
Berdasarkan data Laporan Harta
Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang disampaikan oleh para calon kepala
daerah kepada KPK, total kekayaan pasangan calon terlihat tak mencukupi untuk
menutup ongkos Pilkada.
Sehingga, menurut dia, tak
mengherankan bila hasil survei KPK pada 2018 memperlihatkan bahwa sebanyak 82,3
persen dari seluruh pasangan calon yang diwawancarai mengakui adanya donatur
dalam pendanaan Pilkada, karena adanya gap antara biaya
Pilkada dan kemampuan harta calon kepala daerah.
Direktur Fasilitasi Kepala Daerah,
DPRD, dan Hubungan antar Lembaga (FKDH) Kementerian Dalam Negeri, Andi Bataralifu, mengakui, ongkos Pilkada yang mahal menyebabkan maraknya politik uang, yang pada
saatnya berpotensi menimbulkan kasus hukum.
Ia mengatakan, pada 2005
sampai Oktober 2020 terdapat total 457 kepala daerah atau wakil kepala daerah
terkena kasus hukum, dan yang terbanyak adalah kasus
korupsi.
"Motif pelanggaran hukum itu adalah
keinginan balik modal untuk maju Pilkada berikutnya, dengan cara obral
izin, program dan proyek pembangunan pemda ke pengusaha, yakni investor atau
cukong politik, mutasi pejabat, ketuk palu pengesahan APBD bersama DPRD, dan
lain-lain," katanya. [qnt]