DIGITAL kejahatan tidak lagi hanya dilakukan oleh individu bermasker di gang gelap, melainkan oleh sistem yang "terlihat" rapi di balik layar kaca gawai kita. Bayangkan sebuah aplikasi fintech yang secara sistematis memanipulasi bunga di luar perjanjian, atau sebuah marketplace yang algoritmanya sengaja membiarkan penjualan barang ilegal demi komisi.
Pertanyaan hukum klasiknya adalah: Siapa yang salah? Apakah hanya direktur utamanya? Atau si pembuat koding?
Baca Juga:
Ngaku Anggota BNN, Pria Berpistol Peras Warga Rp 200 Juta di Riau
Selama ini, hukum pidana kita sering kesulitan menjerat "tubuh" perusahaannya. Namun, dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru), paradigma ini berubah total. Kita memasuki era di mana korporasi tidak bisa lagi bersembunyi di balik tameng "badan hukum mati" atau artificial legal person.
Pergeseran Paradigma: Korporasi adalah "Subjek" yang Bisa Jahat
Dalam teori hukum pidana klasik, berlaku adagium universitas delinquere non potest (korporasi tidak dapat melakukan tindak pidana). Dulu, yang dipenjara hanya manusianya (pengurus).
Baca Juga:
Hakim: Christiano Masih Muda, Korban Sudah Memaafkan
Namun, KUHP 2023 secara tegas mengadopsi konsep modern bahwa korporasi adalah Subjek Tindak Pidana (Pasal 45). Ini adalah revolusi hukum. Dalam konteks transaksi elektronik, ini berarti jika sebuah sistem elektronik perusahaan dirancang untuk melakukan fraud (penipuan) atau pencurian data, perusahaan itu sendiri bukan cuma staf IT atau manajernya yang duduk di kursi terdakwa.
Menjerat "Niat Jahat" (Mens Rea) dalam Transaksi Elektronik
Tantangan terbesar dalam memidana korporasi adalah membuktikan "niat jahat". Korporasi tidak punya otak biologis, lalu bagaimana ia bisa berniat jahat?