WahanaNews.co | Berdasarkan UU Nomor 39 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 54, para pengguna narkoba seharusnya direhabilitasi bukan dimasukkan penjara. Namun, Direktur Tindak Pidana Narkoba Mabes Polri, Brigjen Krisno H Siregar, mengatakan ada pasal ambigu di dalamnya.
Keambiguan ini disebut membuat aparat kerap keliru menerapkannya.
Baca Juga:
Sat Narkoba Polres Dairi Tangkap Petani yang Diduga Jadi Bandar Narkoba
Pasal tersebut menyatakan, "Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial."
Namun sering kali seseorang yang ditangkap ternyata memiliki jumlah narkoba lebih banyak dari ketentuan minimal yang disebut dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA).
Dalam SEMA dinyatakan bahwa kategori pengguna narkoba untuk sabu adalah bila dalam satu hari itu maksimal mengkonsumsi atau memiliki 1 gram, dan 5 gram untuk ganja.
Baca Juga:
Bahas Penguatan Kerja Sama Pemberantasan Narkoba, BNN Terima Kujungan AFP
Bila dalam proses penyidikan ternyata seseorang itu kemudian diketahui lebih dari yang ditentukan MA, dan/atau berbagi dengan orang lain, penyidik biasanya menggunakan Pasal 112.
Pasal ini berbunyi, "Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun...".
Sementara Pasal 127 ayat 1 berbunyi, "Setiap penyalahgunaan narkotika golongan I bagi diri sendiri dipidana penjara paling lama 4 tahun."
"Dalam praktiknya banyak penyidik memasukkan pasal 112 dengan hukuman minimal 4 tahun. Ini antara lain yang berkontribusi terhadap padatnya Lapas kita," kata Krisno Siregar, Kamis (16/9/2021).
Pada tahun 2014 lalu, Majelis Kasasi MA pernah menyatakan Pasal 112 sebagai pasal keranjang sampah dan pasal karet.
Karena itu, Majelis Kasasi menolak memenuhi tuntutan jaksa agar menghukum 4 tahun narapidana narkoba asal Gantarang, Bulukumba, Sulawesi Selatan. Jaksa menjerat si napi dengan pasal 112 dan pasal 127 karena dianggap telah menguasai sabu seberat 0,0484 gram dan alat isap (bong).
Majelis Kasasi mengukuhkan putusan Pengadilan Negeri bahwa terdakwa cuma layak dijerat dengan pasal 127, dan menghukumnya 1 tahun 10 bulan.
"Memang benar, para pengguna sebelum menggunakan narkotika, terlebih dahulu menyimpan atau menguasai, memiliki, membawa narkotika sehingga tidak selamanya harus diterapkan ketentuan pasal 112 UU Narkotika. Melainkan harus dipertimbangkan apa yang menjadi niat atau tujuan memiliki atau menguasai narkotika itu," demikian putusan majelis secara bulat.
Selain soal pasal ambigu, polisi berdalih tak semua daerah kabupaten/kota memiliki panti rehabilitasi. Karena itu, penyidik kesulitan untuk merehabilitasi pengguna narkoba yang ditangkap. Kalaupun ada panti rehabilitasi milik swasta, tentu biayanya lebih mahal.
"Kalau si korban dari golongan tidak mampu, lantas siapa yang harus menanggung biayanya," kata Krisno Siregar.
Sejauh ini, dia melanjutkan, para penyidik cuma diberi anggaran penyelidikan dan penyidikan tindak pidana. Tapi untuk biaya rehabilitasi belum pernah dianggarkan. Padahal biaya rehabilitasi seorang pengguna paling murah berkisar Rp 3-4 juta per bulan. Bandingkan dengan biaya makan para napi di dalam lapas yang tak sampai Rp 15 ribu per hari.
Karena itu, kata Kresno, soal payung hukum rehabilitasi pengguna narkoba perlu dimasukkan dalam materi revisi UU Narkotika. Sejak beberapa tahun lalu sudah ada kesepakatan dari tujuh kementerian/lembaga bahwa pengguna dapat direhabilitasi dalam setiap proses peradilan, mulai penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga vonis. [rin]