WahanaNews.co, Jakarta - Menurut Burhanuddin Muhtadi, seorang Guru Besar Ilmu Politik di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia kini menjadi negara yang mengalami tingkat praktik politik uang tertinggi dalam pemilihan umum, yang hanya kalah dari Uganda dan Benin di Afrika.
Pernyataan ini diungkapkan pada orasi pengukuhan Burhanuddin sebagai Guru Besar UIN Jakarta pada Rabu (29/11/2023).
Baca Juga:
Bawaslu Mukomuko Buka 16 Posko Pengaduan Pelanggaran Kampanye Pilkada 2024
Data tersebut berasal dari riset yang dilakukan oleh Burhanuddin pada dua pemilihan presiden terakhir pada 2014 dan 2019.
Hasil riset menunjukkan bahwa sekitar 33 persen atau 62 juta dari total 187 juta pemilih yang terdaftar terlibat dalam praktik jual beli suara.
Informasi ini juga termaktub dalam riset ilmiah berjudul 'Votes for Sale: Klientelisme, Defisit Demokrasi, dan Institusi' yang dirilis pada prosesi pengukuhan Burhanuddin sebagai profesor ilmu politik di UIN Jakarta.
Baca Juga:
Kejari Gunungsitoli Sosialisasi Bahaya Politik Uang di Pilkada: Pelaku Bisa Dipidana
Dia menambahkan bahwa target politik yang sebagian besar menyasar para simpatisan partai politik yang angkanya mencapai 15 persen.
Sementara, sisanya, 85 persen tak masuk dalam sasaran praktik politik uang karena dianggap tak bisa diandalkan. Mereka adalah kelompok pemilih mengambang atau swing voters.
"Mereka enggan membidik pemilih mengambang karena dianggap mereka menerima paket yang yang ditawarkan tapi soal pilihan tidak bisa dipastikan," kata Burhanuddin, melansir CNN Indonesia.
Burhanuddin menyebut politik uang hanya menyumbang 10 persen suara. Namun, jumlah itu dinilai cukup efektif untuk terutama dalam konteks pemilihan legislatif dan bersaing dengan sesama calon dari partai yang sama.
"Angka 10 persen bisa menjadi faktor penentu kemenangan. Rata-rata margin kemenangan untuk mengalahkan rivalnya hanya 1,6 persen. Jadi, [jumlah 10 persen] bisa membuat perbedaan caleg yang menang dan yang kalah," kata dia.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]