Oleh AKMALUDDIN RACHIM
Baca Juga:
Simak! Alasan Mengapa Harga Listrik Energi Hijau Lebih Mahal
PERUBAHAN iklim terjadi begitu cepat menyebabkan suhu bumi makin memanas.
Keadaan ini
tidak luput menjadi salah satu fokus pembahasan dalam pertemuan KTT G-7 yang
berlangsung di Inggris pada 11-13 Juni 2021.
Baca Juga:
Skema 'Power Wheeling' Tenaga Listrik Bisa Tambah Beban Negara
Kelompok
negara G-7, yakni Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Italia, Jerman, Perancis,
dan Jepang, bersepakat untuk meningkatkan upaya mengatasi perubahan iklim.
Pada
kesempatan berbeda, sebelum KTT G-7, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan
Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, dalam
"Indonesia Investment Forum 2021", mengatakan,
saat ini energi fosil adalah musuh bersama dunia.
Hasil kedua
pertemuan tersebut mengisyaratkan akan adanya pergeseran arah kebijakan energi
nasional secara fundamental.
Pembahasan
pembentukan Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) pada
Kamis, 1 Juli 2021, telah sampai pada tahap penyampaian pandangan mini fraksi.
Hasilnya,
Komisi VII DPR menyepakati RUU EBT untuk diusulkan menjadi RUU inisiatif Komisi
VII dan selanjutnya disampaikan ke Badan Legislasi DPR untuk dilakukan
sinkronisasi dan harmonisasi.
Melalui UU
EBT ini nanti kita mengharapkan adanya perubahan terhadap pemanfaatan,
pengelolaan, dan pengembangan EBT serta perubahan menyeluruh dalam pengelolaan
energi nasional.
Target Bauran Energi Nasional
Berbagai
kesempatan rapat antara Komisi VII DPR dan mitra kerjanya serta forum lainnya
melaporkan produksi energi fosil, terutama minyak bumi, makin berkurang.
Hengkangnya
investor asing dan sulitnya mendapatkan investasi baru merupakan gambaran
kondisi terkini dalam industri hulu migas.
Ada banyak
faktor memengaruhi kondisi tersebut.
Salah satunya
terkait dengan komitmen global dalam pengurangan emisi gas rumah kaca.
Di sisi lain,
terdapat kesepakatan negara-negara maju untuk menghentikan penggunaan batubara
sebagai sumber energi.
Kenyataan itu
mengharuskan adanya kebijaksanaan.
Perlahan
terlihat ada ikhtiar global mempersiapkan transisi energi, dari energi fosil
beralih ke energi ramah lingkungan.
Hal ini
dimaknai sebagai upaya mengatasi perubahan iklim dan menciptakan pembangunan
yang berkelanjutan.
Berkenaan
dengan hal tersebut, keberpihakan kita mengatasi perubahan iklim sejak awal
telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi.
Politik hukum
tersebut kemudian diejawantahkan menjadi arah kebijakan energi nasional yang
dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan
Energi Nasional (KEN).
Regulasi soal
energi bersih tidak berhenti sampai itu saja.
Pemerintah
selanjutnya menjabarkan arah KEN melalui Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017
tentang Rencana Umum Energi Nasional.
Di dalam
Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), pemerintah menetapkan target bauran EBT
pada tahun 2025 paling sedikit 23 persen dan 31 persen pada tahun 2050.
Berdasarkan
data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), realisasi capaian
bauran energi nasional telah mencapai 13,55 persen per April 2021.
Jumlah ini
meningkat 2,04 persen dalam waktu empat bulan dibandingkan data akhir tahun
lalu yang hanya 11,51 persen.
Gambaran di
atas memberikan optimisme untuk mencapai target bauran energi nasional.
Guna mempercepat
target bauran energi nasional sebesar 23 persen pada tahun 2025 dan 31 persen
pada tahun 2050 diperlukan upaya dan dukungan berbagai pihak.
Salah satu
konsep atau teori perubahan yang perlu diterapkan ialah sinergisitas
pentahelix.
Kesinergisan
ini melibatkan unsur pemerintah, akademisi, pengusaha, masyarakat atau
komunitas, dan media untuk bersatu menyusun kebijakan yang berpihak pada upaya
pemanfaatan dan pengembangan EBT.
Sinergi lima
unsur kekuatan pembangunan dan pemangku kepentingan ini diharapkan menjadi
modal besar dalam merealisasikan target bauran energi dan program pembangunan
nasional berkelanjutan.
Sinergisitas
itu diharapkan terjalin hingga ke daerah kabupaten/kota.
Hubungan
antara pemerintah pusat dan daerah dalam menyusun kebijakan energi menjadi
salah satu parameter yang penting.
Kebijakan
yang dimaksud ialah terkait pengembangan EBT serta konservasi energi (KE).
Kebijakan KE
ini penting terhadap pengembangan EBT sebab ia merupakan bagian dari
pengelolaan energi.
Oleh sebab
itu, melalui UU EBT nanti diharapkan memberikan kewenangan pemerintah pusat dan
pemerintah daerah berkoordinasi dalam kebijakan pengelolaan energi nasional.
Urgensi Undang-Undang EBT
Pengembangan
EBT dan KE antara pemerintah pusat dan daerah sejauh ini relatif tidak sejalan.
Kebijakan
terhadap dua hal tersebut juga belum saling mendukung.
Hal ini
terlihat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
Dalam
undang-undang a quo terlihat beberapa
kerancuan aturan, tidak memiliki daya guna, dan menimbulkan kekosongan hukum
terkait pengembangan EBT dan KE.
Pertama,
Pasal 14 ayat (1) UU Pemerintah Daerah menyebutkan bahwa "Penyelenggaraan
urusan pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta energi dan sumber daya mineral
dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi".
Pasal ini
mengatur penyelenggaraan urusan bidang energi dan sumber daya mineral yang
hanya dibagi sampai pemerintah provinsi.
Itu artinya
daerah kabupaten/kota berdasarkan undang-undang a quo tidak memiliki kewenangan dalam penyelenggaraan urusan EBT.
Kedua, Pasal
14 ayat (4) UU Pemerintah Daerah mengatakan bahwa "Urusan pemerintahan
bidang energi dan sumber daya mineral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
berkaitan dengan pemanfaatan langsung panas bumi dalam daerah kabupaten/kota
menjadi kewenangan daerah kabupaten/kota".
Pasal ini
menunjukkan kewenangan daerah kabupaten/kota terhadap urusan pemanfaatan
langsung panas bumi.
Ketentuan ini
perlu mendapat koreksi mengingat banyaknya jenis EBT dan kegiatan pengelolaan
energi lainnya yang memerlukan sinkronisasi antara pusat dan daerah.
Pasal
tersebut juga menyisakan pertanyaan.
Mengapa
terkait urusan pemanfaatan langsung panas bumi, daerah kabupaten/kota diberikan
kewenangan.
Di sisi lain,
berdasarkan data dari Kementerian ESDM, potensi energi terbarukan jenis
matahari atau surya 207,8 GW lebih besar dibandingkan panas bumi 23,9 GW.
Ketiga,
lampiran UU Pemerintah Daerah hanya mengatur EBT jenis panas bumi dan biofuel.
Pasal 15
ayat (1) UU Pemerintah Daerah menyebutkan, "Pembagian urusan
pemerintahan konkuren antara pemerintah pusat dan daerah provinsi serta daerah
kabupaten/kota tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari undang-undang ini".
Dalam
lampiran undang-undang a quo, sub-urusan EBT yang
diakomodasi hanya sebatas panas bumi dan biofuel, padahal jenis EBT
sangat beragam.
Undang-Undang
Energi menyebutkan bahwa jenis EBT berasal dari sumber energi baru dan energi
terbarukan, seperti nuklir, hidrogen, gas metana batubara (coal bes methane), batubara tercairkan (liquified coal), batubara tergaskan (gasified coal), panas bumi, angin,
bioenergi, sinar matahari, aliran dan terjunan air, serta gerakan dan perbedaan
suhu lapisan laut.
Dengan
mengacu pada hal tersebut, UU Pemerintah Daerah belum mengakomodasi jenis EBT
lainnya yang diatur dalam UU Energi.
Padahal, UU
Energi hadir lebih dahulu sebelum UU Pemda.
Kenyataan ini
memperlihatkan harmonisasi substansi dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan sektor energi cenderung tidak dilakukan.
Keempat,
urusan pemerintahan konkuren yang tidak tercantum dalam UU Pemerintah Daerah
dan lampirannya, seperti jenis EBT lainnya dan kegiatan KE, dapat diatur
melalui Peraturan Presiden (Perpres).
Dasar hukum
ini tercantum dalam Pasal 15 ayat (2) dan (3) UU Pemerintah Daerah.
Disebutkan
dalam ayat (2) bahwa "Urusan pemerintahan konkuren yang tidak tercantum
dalam lampiran undang-undang ini menjadi kewenangan tiap tingkatan atau susunan
pemerintahan yang penentuannya menggunakan prinsip dan kriteria pembagian
urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13".
Dalam ayat
(3) disebutkan bahwa "Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) ditetapkan dengan peraturan presiden".
Pasal ini
memberikan dua ruang penafsiran.
Pertama,
jenis EBT lainnya yang tidak diakomodasi dalam lampiran undang-undang a quo dapat diatur melalui Perpres.
Jika hal
tersebut diatur, akan ada penguatan terkait sub-urusan EBT dalam undang-undang
tersebut.
Kedua,
kegiatan KE yang tidak diakomodasi dalam UU Pemerintah Daerah dan lampirannya
dapat diatur dengan mengadakan ketentuan baru melalui Perpres.
Argumentasi
ini didasarkan pada kebijakan KE telah diatur dalam UU Energi dan Peraturan
Pemerintah Nomor 70 Tahun 2009 tentang Konservasi Energi, yang memberikan
kewenangan kepada daerah.
Menyikapi
kebijakan transisi energi dan upaya mempercepat target bauran energi, sudah
seyogianya kegiatan KE ini diatur dalam perpres atau regulasi lainnya.
Uraian di
atas menunjukkan urgensi UU EBT.
Diharapkan UU
EBT dapat mengisi kekosongan hukum dan menyesuaikan dengan kebutuhan
perkembangan kebijakan energi secara global.
Penyesuaian
paradigma baru soal energi akan menuntun kita ke depan dalam pemanfaatan energi
yang berkelanjutan.
UU EBT
diperlukan untuk menjadi landasan bagi paradigma hukum energi ke depan.
Paradigma ini
diharapkan menjadi basis bagi pengembangan dan pemanfaatan energi yang
berorientasi pada ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan energi.
UU EBT akan
menjadi lex specialis derogat legi generali dan lex posterior derogat legi priori dalam peraturan
perundang-undangan mengenai energi.
Undang-undang EBT yang Revolusioner
Pengaturan
mengenai EBT sebenarnya telah ada dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Hal itu
terlihat dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, UU Nomor 30
Tahun 2007 tentang Energi, UU Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan,
dan UU Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi.
Selain itu
juga diatur dalam PP Nomor 70 Tahun 2009 tentang Konservasi Energi, PP Nomor 79
Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, Perpres Nomor 22 Tahun 2017
tentang Rencana Umum Energi Nasional, dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 39 Tahun
2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Fisik Pemanfaatan Energi Baru dan Energi
Terbarukan serta Konservasi Energi.
Kendatipun
telah ada berbagai kebijakan dan regulasi yang mengatur EBT, UU EBT tetap
dibutuhkan untuk mengatur hal yang lebih prinsip, yaitu UU EBT yang
revolusioner.
Maksudnya
ialah UU EBT yang mengatur secara holistik dan komprehensif mengenai tata
kelola EBT.
Dalam draf
RUU EBT --baik versi 25 Januari 2021 maupun 12 Maret 2021-- terlihat
kecenderungan pengaturan yang belum menyentuh aspek substansial.
Ketentuan
yang diatur, misalnya, lebih banyak seputar persoalan pemanfaatan nuklir
sebagai pembangkit listrik, harga jual EBT, pemberian insentif pengembangan
EBT, dan skema bisnis EBT.
Padahal,
publik menghendaki adanya substansi pengaturan yang mendasar dan visioner.
Beberapa
substansi pengaturan yang perlu dikedepankan ialah mengakomodasi prinsip hukum
energi yang ditawarkan oleh Raphael J Heffron, Anita Rønne, Joseph P Tomain,
Adrian Bradbrook, dan Kim Talus dalam jurnal yang berjudul A treatise for
energy law.
Selanjutnya pemerintah dan DPR dapat mencontoh Korea Selatan yang
mengampanyekan new administration"s energy initiatives.
Pergeseran paradigma dari kebijakan energi yang difokuskan pada pemenuhan
pasokan energi yang stabil dan murah beralih ke pendekatan yang seimbang dengan
mempertimbangkan keselamatan nasional dan lingkungan yang bersih.
Adapun hal
lain yang perlu dikuatkan ialah terkait optimalisasi pelibatan peran pemerintah
daerah dalam tata kelola EBT, desain tata kelola dan kelembagaan, mengutamakan
pengembangan energi terbarukan ketimbang energi baru.
Sementara
terkait konsep hak menguasai negara dalam RUU EBT ini perlu dikaji kembali
karena tidak semua jenis EBT merupakan sumber daya alam strategis yang menguasai
hajat hidup orang banyak.
Hal ini telah
ditentukan dalam UU Energi terkait tafsir penguasaan negara dalam sektor
energi.
Untuk
merumuskan UU EBT yang revolusioner, pemerintah dan DPR perlu mendengarkan
masukan dari berbagai pemangku kepentingan.
Mempertimbangkan
usulan tersebut penting agar materi yang diatur dalam UU EBT memiliki daya
guna.
Dengan begitu, publik menilai bahwa UU
EBT yang dirumuskan ini benar-benar sesuai dengan yang dibutuhkan dan
didambakan, yaitu dapat menjadi payung hukum penyelenggaraan tata kelola energi
yang berlandaskan kemanfaatan, kepastian, dan keadilan. (Akmaluddin Rachim, Peneliti Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan - PUSHEP)-dhn
Tulisan ini sudah tayang di Kompas.id dengan judul "Publik Menanti UU EBT yang Revolusioner".
Link untuk baca: www.kompas.id/baca/opini/2021/08/20/publik-menanti-uu-ebt-yang-revolusioner/.