Wakil Direktur Tindak Pidana Korupsi (Wadirtipidkor) Bareskrim Polri, Kombes Arief Adiharsa, mengonfirmasi bahwa kasus ini telah naik status ke tahap penyidikan.
"Status perkara ini resmi ditingkatkan setelah gelar perkara yang dilakukan pada Selasa, 5 November 2024," ungkapnya dalam pernyataan tertulis, dikutip Jumat, (8/11).
Baca Juga:
ALPERKLINAS Minta Kementan Libatkan Masyarakat dalam Pengembangan Lahan Pertanian untuk Sumber Energi 52 PLTU
Indikasi Penyalahgunaan Wewenang Menurut Arief, proyek PLTU 1 Kalbar berkapasitas 2x50 MW ini menggunakan anggaran dari PT PLN (Persero). Pada 2008, proyek tersebut dimenangkan oleh konsorsium KSO BRN melalui proses lelang.
Namun, belakangan diketahui bahwa KSO BRN tidak memenuhi persyaratan prakualifikasi dan evaluasi teknis. "Pada 11 Juni 2009, kontrak senilai USD 80 juta dan Rp507 miliar, atau setara Rp1,2 triliun dengan kurs saat ini, ditandatangani antara RR sebagai Dirut PT BRN dan FM selaku Dirut PT PLN," jelas Arief.
Setelah memenangkan lelang, KSO BRN mengalihkan seluruh pekerjaan kepada dua perusahaan asal Tiongkok, PT PI dan QJPSE. Namun, pembangunan yang dikerjakan oleh pihak ketiga tersebut gagal mencapai target. Sejak 2016, proyek ini dinyatakan mangkrak dan tidak dapat dimanfaatkan.
Baca Juga:
PT Bhimasena Power Indonesia Raih Penghargaan Keselamatan Ketenagalistrikan Predikat Biru dari KESDM
Potensi Kerugian Negara Mencapai Triliunan Rupiah Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya indikasi kerugian negara yang signifikan akibat kegagalan proyek ini.
"Kerugian diperkirakan mencapai USD 62,41 juta dan Rp323,2 miliar," ujar Arief.
Penyidik kini tengah mengumpulkan bukti dan memeriksa pihak-pihak terkait untuk mengusut tuntas kasus ini.