WahanaNews.co, Jakarta - Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Dittipidkor) Bareskrim Polri tengah mendalami dugaan korupsi dalam proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 Kalimantan Barat.
Seperti dikutip dari ListrikIndonesia.com, Proyek ini, yang dimulai sejak 2008 hingga 2018, diduga penuh dengan penyimpangan dan kini mangkrak sehingga tidak dapat dioperasikan.
Baca Juga:
ALPERKLINAS Minta Kementan Libatkan Masyarakat dalam Pengembangan Lahan Pertanian untuk Sumber Energi 52 PLTU
Berdasarkan keterangan Wakil Direktur Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri, Kombes Arief Adiharsa, kasus ini resmi meningkat ke tahap penyidikan setelah gelar perkara pada 5 November 2024.
PLTU 1 Kalbar, yang berkapasitas 2x50 MW, menggunakan anggaran dari PT PLN (Persero) dengan nilai kontrak mencapai sekitar Rp1,2 triliun. Proyek ini awalnya dimenangkan oleh konsorsium KSO BRN melalui lelang, meskipun diketahui KSO BRN tidak memenuhi persyaratan teknis.
Setelah memenangkan proyek, KSO BRN mengalihkan seluruh pekerjaan ke dua perusahaan asal Tiongkok. Namun, sejak 2016, proyek ini dinyatakan mangkrak, dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memperkirakan kerugian negara mencapai USD 62,41 juta dan Rp323,2 miliar.
Baca Juga:
PT Bhimasena Power Indonesia Raih Penghargaan Keselamatan Ketenagalistrikan Predikat Biru dari KESDM
Menanggapi hal ini, Ketua Umum Aliansi Lembaga Perlindungan Konsumen Listrik Nasional (ALPERKLINAS), KRT Tohom Purba, mendesak pihak berwenang untuk mengusut tuntas kasus tersebut. Ia menegaskan bahwa dampak dari proyek mangkrak ini dapat menghambat pasokan listrik ke masyarakat, yang sangat dibutuhkan di Kalimantan Barat.
“Kami berharap agar proses hukum ini berjalan tuntas dan adil. Jangan sampai keterlambatan atau bahkan kegagalan proyek ini merugikan masyarakat yang seharusnya menerima manfaat dari listrik yang stabil. Pelayanan kepada konsumen listrik harus menjadi prioritas,” ujar KRT Tohom Purba, yang juga Salah Satu Pengurus Regional FISUEL Asia-Pasifik itu kepada WahanaNews.co, di Jakarta, Selasa (12/11/2024).
Penyelidikan Polri diharapkan dapat mengungkap seluruh pihak yang bertanggung jawab dalam kasus ini, sekaligus menjadi peringatan bagi pengelolaan proyek listrik lainnya di Indonesia.
Wakil Direktur Tindak Pidana Korupsi (Wadirtipidkor) Bareskrim Polri, Kombes Arief Adiharsa, mengonfirmasi bahwa kasus ini telah naik status ke tahap penyidikan.
"Status perkara ini resmi ditingkatkan setelah gelar perkara yang dilakukan pada Selasa, 5 November 2024," ungkapnya dalam pernyataan tertulis, dikutip Jumat, (8/11).
Indikasi Penyalahgunaan Wewenang Menurut Arief, proyek PLTU 1 Kalbar berkapasitas 2x50 MW ini menggunakan anggaran dari PT PLN (Persero). Pada 2008, proyek tersebut dimenangkan oleh konsorsium KSO BRN melalui proses lelang.
Namun, belakangan diketahui bahwa KSO BRN tidak memenuhi persyaratan prakualifikasi dan evaluasi teknis. "Pada 11 Juni 2009, kontrak senilai USD 80 juta dan Rp507 miliar, atau setara Rp1,2 triliun dengan kurs saat ini, ditandatangani antara RR sebagai Dirut PT BRN dan FM selaku Dirut PT PLN," jelas Arief.
Setelah memenangkan lelang, KSO BRN mengalihkan seluruh pekerjaan kepada dua perusahaan asal Tiongkok, PT PI dan QJPSE. Namun, pembangunan yang dikerjakan oleh pihak ketiga tersebut gagal mencapai target. Sejak 2016, proyek ini dinyatakan mangkrak dan tidak dapat dimanfaatkan.
Potensi Kerugian Negara Mencapai Triliunan Rupiah Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya indikasi kerugian negara yang signifikan akibat kegagalan proyek ini.
"Kerugian diperkirakan mencapai USD 62,41 juta dan Rp323,2 miliar," ujar Arief.
Penyidik kini tengah mengumpulkan bukti dan memeriksa pihak-pihak terkait untuk mengusut tuntas kasus ini.
Jika terbukti, tindakan ini tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga menghambat penyediaan energi listrik yang sangat dibutuhkan masyarakat Kalimantan Barat.
Penyelidikan ini menjadi langkah tegas Polri dalam memberantas tindak pidana korupsi yang merugikan kepentingan publik.
[Redaktur: Sutrisno Simorangkir]