WahanaNews.co | Keberadaan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan
atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)
kembali jadi sorotan publik.
Presiden Joko Widodo membuka wacana
untuk merevisi kembali regulasi tersebut.
Baca Juga:
DPR Ketok Palu Revisi UU ITE, Simak Poin Perubahannya
Jokowi menangkap kegelisahan publik
yang menilai UU ITE tak memberikan rasa keadilan.
"Kalau UU ITE tidak bisa
memberikan rasa keadilan, ya saya akan minta kepada DPR untuk bersama-sama merevisi
undang-undang ini, Undang-undang ITE ini," kata Jokowi dalam Rapat
Pimpinan TNI-Polri yang disiarkan kanal YouTube
Sekretariat Presiden, Senin (15/2/2021).
Dilansir dari situs resmi Kominfo,
penjajakan penyusunan UU ITE dimulai di era Presiden Megawati, tepatnya pada
2003.
Baca Juga:
PLN Katakan Produksi Hidrogen Hijau Jadi Bahan Bakar Alternatif di Masa Depan
Kala itu, dua buah RUU, yakni Tindak Pidana Teknologi Informasi dan e-Commerce alias perdagangan elektronik, dijadikan
satu naskah RUU dan diserahkan ke DPR.
Pembahasan UU ITE dibahas pada 2005
hingga 2007, dan disahkan pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY), tahun 2008.
UU ITE memiliki beberapa bagian.
Bagian pertama, terkait e-commerce yang mengatur soal marketplace.
Selanjutnya di bagian kedua mengatur
tentang tindak pidana teknologi informasi dengan sub bagian mulai dari konten
ilegal, unggahan bernuansa SARA, kebencian, hoaks, penipuan, pornografi, judi,
hingga pencemaran nama baik.
Di sub bagian lainnya juga terdapat
aturan soal akses ilegal, seperti hacking, penyadapan, serta gangguan atau perusakan sistem secara
ilegal.
Bagian UU ITE yang kerap menjadi
masalah di tengah masyarakat ialah di bagian kedua.
Bagian yang tertuang di pasal 27
hingga 29 ini terus menjadi perdebatan, dianggap bersifat karet, dan disebut
menjadi alat membungkam kritik yang dilayangkan ke pemerintahan Jokowi.
Pasal 27:
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang
melanggar kesusilaan.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian.
(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran
nama baik.
(4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau
pengancaman.
Pasal 28:
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita
bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi
Elektronik.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan
informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan
individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama,
ras, dan antargolongan (SARA).
Pasal 29:
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau
menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.
Salah satu tokoh yang disebut
dibungkam dengan UU ITE ialah musikus Dhani Ahmad Prasetyo alias Ahmad Dhani
dalam kasus "Banser Idiot".
Dhani divonis penjara selama 1 tahun 6
bulan.
Sepanjang 2020, setidaknya lima tokoh
yang tersandung UU ITE. Mulai dari mendiang Soni Eranata alias Ustaz Maaher At-Thuwailibi, musikus Jerinx, Ustaz Gus Nur atau
Sugik Nur Raharja, pakar hukum tata negara Refly Harun, serta aktivis kebijakan
publik Ravio Patra.
Maaher dilaporkan atas dugaan ujaran
kebencian melalui media sosial kepada Habib Luthfi.
Gus Nur ditetapkan menjadi tersangka
ujaran kebencian kepada Nahdlatul Ulama (NU).
Refly Harun menjadi pihak yang turut
diperiksa oleh Bareskrim.
Sedangkan, Ravio Patra terseret diduga
telah menyiarkan ujaran kebencian dan memprovokasi di tengah pandemi Covid-19.
Sebelum ditangkap, Ravio, lewat akun Twitter-nya,
mengkritisi banyak hal, mulai dari kejanggalan penunjukan mitra program Kartu
Prakerja, conflict of interest para
Staf Khusus Jokowi, industri buzzer,
hingga pasal karet UU ITE. [dhn]