WahanaNews.co | Salah satu tuntutan reformasi 1998 adalah membatasi
masa jabatan presiden menjadi hanya dua periode berturut-turut. Terlalu lamanya
Soeharto berkuasa menghasilkan pemerintahan yang otoriter dan dinilai tidak
demokratis.
Setelah melalui masa transisi, pemerintahan pasca-reformasi
telah dua kali dipimpin presiden yang terpilih menjabat dua periode
berturut-turut. Polarisasi yang menajam pada pemilu terakhir memunculkan wacana
untuk mengevaluasi ketentuan masa jabatan presiden.
Baca Juga:
Pengamat Semprot Elite yang Usulkan Gibran Dimakzulkan: Seperti Anak Kecil
Beberapa usulan mengemuka, khususnya soal perubahan batasan
periode dan durasinya. Ada yang mengusulkan ditambah menjadi tiga periode, ada
pula yang justru ingin hanya boleh satu periode. Selain itu durasi dalam tiap
periode diusulkan ditambah menjadi 6, 7, atau 8 tahun.
Sejumlah alasan menjadi latar belakang dari konsep-konsep yang
ditawarkan. Masa jabatan yang hanya dua periode dinilai tidak efektif untuk
kontinuitas program. Sebaliknya faktor adanya petahana yang membuat kompetisi
dinilai tidak adil mendasari supaya dibatasi hanya satu periode.
Kalaupun hanya boleh satu periode, waktu 5 tahun dirasakan tidak
cukup untuk pemerintahan. Kombinasinya adalah periode hanya satu
kali, tetapi lama periode diperpanjang menjadi 7-8 tahun. Dengan demikian
pemerintahan bisa fokus bekerja tanpa perlu memikirkan pemilu berikutnya.
Baca Juga:
Diam-diam Temui Megawati, Dasco Ungkap Pesan Penting untuk Pemerintahan Prabowo
"Wacana perubahan masa
jabatan presiden menjadi 7-8 tahun dan dibatasi hanya 1 periode masih belum
banyak diketahui publik, tetapi mulai menuai dukungan," kata Direktur Eksekutif
Y-Publica,
Rudi Hartono,
dalam paparan surveynya di Jakarta, Rabu (28/10/2020).
Temuan survei Y-Publica menunjukkan sebagian besar publik atau
sebanyak 80,2 persen mengaku belum mengetahui wacana perubahan masa jabatan
presiden menjadi 7-8 tahun dan dibatasi hanya 1 periode. Hanya ada 19,8 persen
yang mengetahui adanya wacana tersebut.
Di antara mereka yang mengetahui, mayoritas mendukung
diterapkannya konsep tersebut, yaitu sebanyak 81,4 persen. Sebaliknya hanya ada
18,6 persen yang menyatakan tidak setuju.
"Opsi ini perlu dipertimbangkan oleh para pihak untuk dikaji
lebih mendalam," pungkas Rudi.
Survei Y-Publica dilakukan pada 11-20 Oktober 2020 terhadap 1200
orang mewakili seluruh provinsi di Indonesia. Survei dilakukan melalui
sambungan telepon kepada responden yang dipilih acak dari survei sebelumnya
sejak 2018. Margin of error ±2,89 persen, tingkat kepercayaan 95 persen. [qnt]