WahanaNews.co
| Presiden Joko Widodo alias Jokowi mewajibkan
advokat hingga notaris yang menerima honor fantastis, sehingga patut diduga
hasil pencucian uang, wajib melaporkan ke Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK).
Menyikapi
hal itu, sejumlah advokat akan menggugat peraturan itu ke Mahkamah Agung (MA).
Baca Juga:
Jokowi Tak Ambil Pusing Fotonya di Kantor DPD PDIP 'Raib'
Peraturan
itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2021 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 tentang Pihak Pelapor dalam
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
"Tim
Advokasi Peduli Hukum Indonesia sedang mengkaji PP 61/2021, dan apabila ada
Advokat yang minta kami lakukan uji materiil ke MA karena bertentangan dengan
UU Advokat, maka kami akan mendukung," kata anggota tim, Hema Simanjuntak,
kepada wartawan, Senin (26/4/2021).
Menurut
Hema, PP tersebut cenderung menjebak profesi advokat, karena bisa dikecualikan,
tetapi bisa juga dilaporkan.
Baca Juga:
Dikunjungi Presiden Jokowi, Dirut PLN Paparkan Kesiapan Ekosistem Kendaraan Listrik di Booth PLN di PEVS 2024
Hal
tersebut bertentangan dengan Pasal 16 UU Advokat juncto Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 26/PUU-XI/2013 yang menegaskan bahwa advokat tidak dapat
dituntut saat menjalankan profesi, baik di dalam maupun di luar pengadilan.
"Advokat
itu independen, dan advokat juga wajib menjaga kerahasiaan kliennya. Namun,
harus dicatat, advokat tidak membela kesalahan, melainkan hak-hak dari klien
yang diatur di dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan," papar
Hema.
Soal
honor fantastis, hal itu merupakan sebuah penghargaan atas keilmuan yang
dimiliki advokat.
Selama
ini, Hema menyatakan, honor yang diterima lewat transfer bank, sehingga bisa
dipertanggungjawabkan.
"Terlebih
kami dibayar mahal itu karena ilmu yang kami miliki. Itu harganya mahal,"
kata Hema.
Tim
Advokasi Peduli Hukum Indonesia menyatakan, sebagai advokat, mereka menghormati
Jokowi sebagai pihak yang menerbitkan PP 61/2021.
Hanya
saja, sebagai advokat, Tim Advokasi juga harus mencerminkan guardian of
constitution (penjaga konstitusi) dan guardian of law (penjaga
hukum).
"Sehingga,
apabila ada kekeliruan dalam suatu penerbitan peraturan perundang-undangan,
maka dengan senang hati kami akan bantu meluruskannya melalui upaya hukum yang
formal, salah satunya melalui hak uji materiil," beber Hema.
Sedangkan
menurut anggota Tim Advokasi lainnya, Intan Nur Rahmawanti, menyatakan dirinya
memahami bahwa PP 61/2021 sebagai pelengkap dari pengawasan tindak pidana
pencucian uang.
"Hanya
saja mengapa harus di-stated (disebutkan) dalam penjelasan, profesi
salah satunya advokat. Ini kan seolah-olah advokat banyak terlibat di
dalam pencucian uang. Seharusnya PP tersebut menyebutkan semua orang, bukan
profesi tertentu," kata Intan.
Rencananya,
judicial review akan dilayangkan oleh advokat Erik Anugra Windi.
Namun,
tidak tertutup kemungkinan advokat lain yang keberatan dengan PP 61/2021 itu ikut
menjadi pihak yang melakukan judicial review.
"Untuk
menjadi advokat di Peradi itu bukan hal yang mudah. Kami harus benar-benar
memenuhi syarat sesuai UU Advokat, sehingga apabila profesi advokat justru di-judge
oleh peraturan perundang-undangan lainnya, seyogyanya pembuat UU tersebut
mencermati kembali isi UU Advokat," ujar Intan. [qnt]