Studi terbaru yang dilakukan Williams menunjukkan bahwa turbulensi parah meningkat sebesar 149 persen, dibandingkan turbulensi ringan yang hanya 59 persen. Namun, turbulensi parah kemungkinan tetap akan sangat jarang terjadi.
"Jumlah total turbulensi sangat kecil, tidak sampai 0,1 persen yang memiliki turbulensi parah saat ini, itu sangat kecil," ujar Williams.
Baca Juga:
Dampak Erupsi Gunung Lewotobi, Bandara Bali Batalkan 90 Penerbangan Dalam Sehari
Bahkan jika data tersebut menunjukkan turbulensi parah meningkat, Williams mengatakan bahwa hal itu tidak akan sering dialami penumpang.
"Peningkatan 149 persen, itu antara dua kali lipat dan tiga kali lipat. Anda bisa mengambil 0,1 persen dan dan mengkalikannya. Itu masih sebesar 0,2 atau 0,3% saja," jelas Williams.
Musim terjadinya turbulensi juga bergeser seiring dengan perubahan iklim. Saat ini, turbulensi clear air turbulence lebih sering terjadi pada musim dingin, tetapi juga mulai sering terjadi pada musim hangat.
Baca Juga:
Ternyata Ini Penyebab Kenapa Traveler Sering Jet Lag Saat Naik Pesawat
"Di musim panas di masa depan, jumlah turbulensi clear air turbulence akan sama seringnya dengan yang terjadi di musim dingin saat ini," kata Williams.
Apakah turbulensi akan sangat membahayakan?
Williams menjelaskan, bahwa jika turbulensi yang parah meningkat, hal itu hanya mengubah status dari sesuatu yang sangat jarang terjadi menjadi jarang terjadi.