WahanaNews.co | Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) menjelaskan, Matahari buatan China bisa melelehkan Bumi jika alami kebocoran.
Meski demikian, Kepala Pusat Teknologi
dan Keselamatan Reaktor Nuklir BATAN, Dhandang Purwadhi, menyebut, risiko kebocoran itu sangat minim.
Baca Juga:
Pengamat Militer: DF-5B Bukti China Siap Tanding Kekuatan Nuklir Amerika
"Sampai sekarang, penelitiannya masih eksperimental. Bisa saja berbahaya, tapi penelitian itu ada batasnya, sehingga jangan sampai merusak. Dari segi panasnya, yang keluar itu besar sekali, bisa
melelehkan apa saja di permukaan Bumi," kata Dhandang kepada wartawan, Selasa (8/12/2020).
Sebelumnya, ilmuwan di China, bersama beberapa peneliti lain dari sejumlah negara, berhasil menyalakan sebuah Matahari buatan dengan memanfaatkan
energi nuklir.
Energi yang dihasilkan Matahari buatan
ini melebihi 15 kali panas inti matahari sesungguhnya.
Baca Juga:
China Ungkap Atmosfer Mencekam Jelang Pertandingan Lawan Indonesia
Namun, Dhandang
mengatakan, para peneliti matahari buatan HL-2M
Tokamak itu pasti memiliki ukuran penelitian yang bisa dikendalikan.
Sebabnya, penelitian yang menggunakan energi nuklir tentunya tidak akan dilakukan secara sembarangan.
"Dalam penelitian itu, plasmanya
[energi nuklir hasil reaksi fusi] pasti tidak banyak, ada dalam ukuran yang
bisa dikendalikan. Mereka juga
pasti punya pendingin yang mampu mendinginkan Tokamak," tuturnya.
Untuk mencapai reaksi fusi, tabung Tokamak dipanaskan dengan suhu sebesar 1
miliar derajat Celcius atau 10 pangkat 9 derajat Celcius.
Setelah digunakan menghasilkan energi
panas itu, tabung silinder berbentuk donat tersebut perlu didinginkan untuk
bisa digunakan kembali.
Untuk menjaga energi tersebut tetap
berada dalam wadah, lapisan dalam Tokamak
memanfaatkan gaya magnet berupa pertemuan dua kutub positif, sehingga menghasilkan energi tolak-menolak.
Dengan memanfaatkan gaya magnet,
plasma yang sudah tercipta bisa tergantung di tengah tabung yang berbentuk
donat tersebut.
Sehingga panas dipastikan tidak akan
menyentuh tabung dan minim risiko kebocoran.
Sementara itu, akademisi fisika nuklir
Universitas Pertahanan, Mutia Meireni,
menjelaskan, jika terjadi kebocoran dalam reaksi fusi tersebut, dampaknya tidak
sebanyak kebocoran dalam reaksi fisi.
Proses fusi sendiri menggabungkan
unsur ringan, sehingga menjadi unsur yang lebih
berat.
Sementara proses fisi dalam
pembentukan energi nuklir memecah atom menjadi beberapa bagian.
Proses yang kedua ini lebih berbahaya, sebab reaksi yang dihasilkan tidak akan pernah berhenti.
Sementara reaksi fusi yang digunakan
dalam HL-2M Tokamak lebih minim risiko. Sebab,
jika terjadi kebocoran, yang keluar adalah unsur ringan.
Unsur yang mungkin berbahaya adalah
limbah tritium yang digunakan untuk menciptakan plasma panas.
Namun, tritium
memiliki waktu paruh atau waktu peluruhan yang singkat, selama 12,3 tahun.
"The worst skenarionya (skenario terburuk), kalau dia bocor, memang
ada tritium yang merupakan zat radioaktif. Tapi, limbah ini gak akan separah reaktor fisi, waktu paruhnya 12,3 tahun," kata
Mutia.
Alasan lain reaktor fusi minim
kebocoran, karena ketika proses pengoperasiannya bermasalah, maka alat tersebut
akan berhenti. Sementara, pada reaktor fisi, proses
produksi terus beroperasi.
"Kalau seandainya terjadi
gangguan saat mengoperasikannya, misalnya plasmanya kolaps, itu dia [alatnya]
berhenti, gak bisa running lagi. Beda dengan reaktor fisi," tuturnya.
Lapisan dalam Tokamak juga dilapisi oleh material tungsten yang tahan panas
hingga 3.422 derajat Celcius. Reaktor fusi juga tidak menghasilkan
limbah radioaktif yang berbahaya.
Lebih lanjut ia menjelaskan, ada
banyak manfaat yang bisa didapatkan dari penelitian Matahari buatan ini.
Menurut Mutia, harga energi bisa lebih
terjangkau dan stabil. Energi terbarukan juga ramah lingkungan, sehingga tidak perlu bergantung pada energi fosil yang terus
menipis.
"Tentu banyak sisi positif,
energi akan murah karena bahan bakar bisa diambil dari air laut. Litium ada banyak, otomatis harga
listrik akan lebih murah dan stabil. Kita juga mengurangi penggunaan bahan
bakar fosil, lebih ramah lingkungan," tuturnya. [qnt]