“Sebelum nanti telanjur, saya harap ucapan Deddy tidak dilaksanakan, walaupun Azka boleh terus menekuni olah raga tinju ini jika dia memang suka,” ujarnya.
Keluarga kita, lanjut Hendropriyono, terikat kepada ajaran moral yang tidak boleh tega melihat ayah atau anak kita sendiri tersungkur karena pukulan kita.
Baca Juga:
Hukum Mati dan Kebiri Adalah Amoral
“Saya juga tidak happy dengan ekspresi kekaguman massa yang seketika, sampai menenggelamkan pengetahuan etika Pancasila yang kita hayati,” tambah Hendropriyono.
"Bangsa kita tidak boleh senang menonton ayah dan anak pukul-pukulan di mana pun dengan alasan apapun, karena tidak mendidik masyarakat agar berhenti saling gontok-gontokan selama ini," tegasnya.
Menurut Hendropriyono, dirinya yang menjadi Ketua Umum Komisi Tinju Indonesia (KTI) tahun 1994-1998 itu pernah berdiskusi dengan George Foreman Juara Tinju Dunia tertua dalam sejarah yang berkunjung di Bandung, tentang moral dan etika yang diperlukan bagi seorang petinju baik amatir maupun profesional.
Baca Juga:
Dokter Alex Perkasa, Hmm… Siapanya Panglima TNI Terpilih Nih?
“Saya juga mencatat perasaan sedih dan menyesal puluhan petinju kita, yang lawannya bertanding meninggal dunia di kanvas ring tinju. Termasuk kesedihan James Mokoginta, pelatih cucu saya Rafael Hendropriyono, atas pertandingan tinju Mokoginta bulan Februari yang menewaskan Hero Tito,” kata Hendropriyono.
Tidak ada sanksi yang dapat dikenakan dalam tindak pidana yang terjadi baik sengaja maupun tidak, dalam gelanggang olahraga apapun di dunia ini termasuk tinju. Namun sanksi moral dan etika tetap berlaku bagi mereka yang menyebabkan cedera, terlebih lagi sampai matinya orang lain.
"Moral adalah ajaran yang diterima oleh orang sejak dia lahir ke dunia ini dari lingkungan keluarganya, sehingga terjalin rasa cinta kasih sayang yang terbungkus dalam kemampuan psikomotorik. Artinya, kasih sayang Azka dan sebaliknya kepada Deddy Corbuzier merupakan inti dari ilmu ketangkasan Azka dalam bertinju," jelasnya.