Oleh: Drs. Thomson Hutasoit
Baca Juga:
ITDC dan BPODT Gelar Sosialisasi Pariwisata Berkelanjutan di Danau Toba Jelang Aquabike Jetski World Championship 2024
Berselancar ke masa silam, sesungguhnya data, fakta, bukti
empirik tervalidasi pengalaman masa lalu, baik pengalaman indah maupun
pengalaman buruk tersimpan dalam memory
sejarah.
Masa lalu, masa kini, masa depan adalah rangkaian episode
waktu mencerminkan dinamika, romantika hidup tak mudah dilupakan begitu saja.
Baca Juga:
Aquabike Jetski World Championship 2024 Resmi Dibuka di Danau Toba, Samosir
Kaldera Toba terdiri dari beberapa daerah kabupaten berakses
ke Danau Toba, antara lain; Kabupaten Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Toba
Samosir, Samosir, Dairi, Pakpak Bharat, Karo, Simalungun, Asahan, Batu Bara
adalah kawasan bekas ledakan Gunung Toba ratusan ribu tahun silam.
Kawasan Kaldera Toba adalah salah satu pusat peradaban
manusia diatas bumi. Sebab, kawasan ini asal-usul (Bona Pasogit) bangso Batak
yang terkenal dengan sebutan "Masyarakat Hukum Adat (MHA)" legalitas
formalnya belum diakui secara jelas dan tegas di republik ini.
Eksistensi serta Perlindungan Hak Keperdataan MHA hingga
kini belum ditetapkan dengan peraturan daerah (Perda) sesuai amanat peraturan
perundang- undangan yang berlaku di Negara Republik Indonesia berdasarkan
Pancasila, UUD RI 1945, Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
Pengakuan, pengukuhan Eksistensi Masyarakat Hukum Adat (MHA)
serta Perlindungan Hak Keperdataannya amat sangat esensial dan fundamental
dalam berbangsa dan bernegara.
Masyarakat Hukum Adat (MHA) yang berjuang merebut
kemerdekaan dari cengkraman penjajah kolonial agar merdeka dan berdaulat
menguasai dan/atau mengusahai tanah ulayat dan hutan diawariskan nenek moyang
turun-temurun ratusan tahun sebelum kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus
1945, justru "dirampok, dirampas" sehingga mereka terusir dan/atau
tergusur dari tanah leluhurnya atas nama rezim pertumbuhan investasi tanpa
menghormati dan/atau menghargai hak-hak keperdataan Masyarakat Hukum Adat
(MHA).
Kealpaan pemerintahan daerah atas hal esensial, fundamental
itu, sepertinya tidak menjadi perhatian serius, walaupun pergantian kepala
daerah (gubernur, bupati) telah beberapa kali di daerah di kawasan Kaldera
Toba.
Kawasan Kaldera Toba memiliki danau terbesar kedua di dunia,
dan danau vulkanik terbesar di dunia bernama Danau Toba sejatinya anugerah Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa
Indonesia, khususnya kepada masyarakat kawasan Kaldera Toba yang masih
menyandang predikat "Peta Kemiskinan" sebagai bukti
"penganaktirian dan/atau diskriminasi" arah kebijakan pembangunan,
baik di tingkat provinsi Sumatera Utara maupun tingkat nasional.
Stigma negatif dikotomi Pantai Barat dan Pantai Timur atas
ketimpangan dan/atau kesenjangan kemajuan pembangunan di provinsi Sumatera
Utara adalah data, fakta, bukti empirik tervalidasi menunjukkan kawasan Kaldera
Toba Anak Tiri arah kebijakan pembangunan di masa lalu.
Ketimpangan, kesenjangan arah kebijakan pembangunan itu
telah memicu protes keras pemekaran provinsi sejak puluhan tahun lalu.
Kawasan Kaldera Toba yang seharusnya tidak layak menyandang
predikat "Peta Kemiskinan" bila mampu dikelola dan dikembangkan
destinasi wisata berkelas dunia di wilayah barat Indonesia, justru dijadikan
komoditi politik setiap suksesi presiden, gubernur, bupati, walikota maupun
pemilihan legislatif (Pileg) lima tahun sekali.
Sebab, Danau Toba telah go publik dan go internasional sejak
zaman penjajahan kolonial Belanda.
Nama Danau Toba yang lebih populer daripada nama provinsi
Sumatera Utara di mata dunia internasional seharusnya amat sangat keliru besar
dan sesat pikir "ditelantarkan" dan diabaikan salah satu sumber
pendapatan daerah maupun negara dari sektor pariwisata.
Sungguh amat disayangkan dan disesalkan, Danau Toba hanyalah
seperti gadis cantik tak pernah dirias atau di make up sehingga wajah panorama
indah nan molek dari waktu ke waktu semakin buruk rupa dan tidak menarik bagi
wisatawan, baik domestik maupun internasional.
Dan paling menyedihkan Danau Toba beserta kawasannya telah
dijadikan ajang eksploitasi atau "diperkosa" secara membabi buta.
Tangisan, erangan Danau Toba semakin menyedihkan dengan
kebijakan "ambivalen ambigu" dan "dua kutub" yakni;
hadirnya perusahaan raksasa "Kerambah Jaring Apung (KJA), dan masyarakat,
penggundulan hutan, baik legal maupun ilegal, peternakan, dan pembuangan limbah
domestik maupun usaha perhotelan di sekitar Danau Toba, menjadikan Danau Toba
bagaikan "Tong Sampah Raksasa" dari waktu ke waktu.
Berbagai teriakan lantang dan nyaring dari komunitas
pencinta dan pemerhati Danau Toba bagaikan hembusan angin lalu tak pernah
dihiraukan pengambil keputusan publik di negeri ini.
Bahkan, Danau Toba telah dijadikan komoditas politik ketika
kontestasi politik lima tahunan sedang berlangsung.
Tapi begitu kontestasi usai nasib buruk Danau Toba tetap
menyedihkan dan mengenaskan. Dasar anak tiri tak pernah diperhatikan
sungguh-sungguh.
RE Foundation dimotori Dr. Rustam Effendy Nainggolan, MM,
beserta kawan-kawan telah berupaya keras memperjuangkan Geopark Kaldera Toba
menjadi Taman Bumi UNESCO. Tapi upaya mengangkat harkat dan martabat Kaldera
Toba belum memperoleh dukungan maksimal pemangku kekuasaan di daerah ini.
Ketika harapan pengembangan kawasan Kaldera Toba sudah mulai
redup dan pudar, sejarah berkata lain.
Danau Toba Anak Tiri berubah menjadi Anak Emas oleh seorang
pemimpin pintar, cerdas, brilian dan jenial bernama Presiden Joko Widodo
(Jokowi) menjadikan Danau Toba super perioritas nasional pariwisata berkelas
dunia di wilayah barat Indonesia.
Jokowi mengawali karier politik sejak Walikota
Surakarta-Solo, Gubernur DKI Jakarta, selanjutnya Presiden RI 2014-2019 dan
berlanjut periode kedua 2019-2024 telah mendengarkan "jeritan,
tangisan" Danau Toba bagaikan "Anak Tiri" sehingga telah
beberapa kali berkunjung ke tanah leluhur bangso Batak untuk menjawab tangisan,
erangan Masyarakat Hukum Adat (MHA) Kaldera Toba yang menanti sentuhan nyata
bagaikan "si pungguk rindukan bulan" berpuluh dasa warsa lamanya.
Kunjungan paling anyer adalah 29-31 Juli 2019 ke kawasan
Kaldera Toba dengan komitmen riil akan mengucurkan mata anggaran sebesar Rp 2,4
Triliyun pada APBN 2020 untuk kebutuhan pengelolaan dan pengembangan Danau Toba
destinasi wisata kelas dunia.
Komitmen kuat, tulus ikhlas orang nomor satu di republik ini
tentu membangkitkan "asa baru" dan semangat bagi seluruh stakeholders
dan masyarakat di kawasan Kaldera Toba menatap hari esok lebih baik dan
cemerlang.
Sebab, apabila Danau Toba benar-benar destinasi wisata kelas
dunia, maka predikat "Peta Kemiskinan" akan segera hilang dan berubah menjadi "Tanah Harapan (Tano
Hasonangan)" bagi masyarakat sekitar Kaldera Toba ke depan.
Danau Toba akan jadi "Tambang Emas" penghasil
petro dollar tak mengenal musim gugur bagi masyarakat kawasan Kaldera Toba
maupun bangsa Indonesia.
Asa kemakmuran dan kesejahteraan bukan lagi "mimpi
seribu satu malam" ataupun khayalan outopis pelipur lara hati gundah.
Tapi, kenyataan riil "Anak Tiri jadi Anak Emas"
sehingga semua orang dan/atau pihak berlomba ingin menikmati betapa senang dan
penting berkunjung, bahkan memiliki wajah cantik, indah nan molek Danau Toba
dan kawasan Kaldera Toba, tanah leluhur masyarakat beradat, berbudaya,
berperadaban dan beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Yang menjadi pertanyaan ialah Sudah sejauh mana kesiapan
pemerintahan daerah serta masyarakat sekitar Kaldera Toba menerima dan
mensukseskan "sinar pembangunan" yang dibawa Presiden Jokowi ke
kawasan Kaldera Toba.......???
Apakah mindset berpikir, "marsigulut di imbulu ni
leang-leang (bertengkar atau berebut hal tak penting) masih
dipertahankan......???
Apakah sudah mampu membangun sifat, karakter tourism
minded.....???
Apakah bersedia merevitalisasi kearifan budaya leluhur,
"paramak so balunon, pertartataring so ra mintop, parsangkalan so
mahiang" sebagai sifat, karakter terbuka terhadap orang/pihak
lain........???
Inilah hal esensial, fundamental perhatian serius dari
seluruh stakeholders dan masyarakat Kaldera Toba agar niat baik, tekad kuat
Presiden Jokowi mengembangkan Danau Toba destinasi wisata kelas dunia tidak
sia-sia. Bravo Kaldera Toba..! Bravo Presiden Jokowi..! Medan, 01 Agustus 2019.
(tum)
Penulis adalah pemerhati pembangunan dan sosial budaya