"Hasil analisis saya terhadap data Pendataan Keluarga 2021 (PK21) milik BKKBN menunjukkan bahwa 0,6 persen penduduk Manado melakukan kohabitasi," ujar Yulinda.
Dari data tersebut, 1,9% dari pasangan yang hidup bersama tanpa menikah sedang hamil saat survei dilakukan. Selain itu, 24,3% dari mereka berusia di bawah 30 tahun, 83,7% hanya berpendidikan maksimal SMA, 11,6% tidak memiliki pekerjaan, dan 53,5% bekerja di sektor informal.
Baca Juga:
Realitas Kumpul Kebo, Antara Pilihan Hidup dan Konsekuensi Jangka Panjang
Dampak Kohabitasi: Perempuan dan Anak Jadi Korban
Yulinda menegaskan, dampak paling serius dari kohabitasi dialami oleh perempuan dan anak. Tanpa perlindungan hukum seperti yang diberikan dalam pernikahan sah, ibu dan anak kehilangan jaminan finansial dan hukum.
"Ketika hubungan kohabitasi berakhir, tidak ada mekanisme hukum yang bisa memastikan pembagian aset, hak asuh anak, atau kewajiban nafkah. Ini sangat merugikan perempuan dan anak," ungkapnya.
Baca Juga:
Studi BRIN Soroti Maraknya Kumpul Kebo di Wilayah Timur RI
Dari segi psikologis dan kesehatan mental, kohabitasi juga rentan memunculkan konflik dan rasa tidak aman karena rendahnya komitmen antara pasangan.
Data PK21 mencatat, 69,1% pasangan kohabitasi mengalami konflik ringan, 0,62% mengalami pisah ranjang atau pisah rumah, dan 0,26% mengalami kekerasan dalam rumah tangga.
Selain itu, anak-anak yang lahir dari hubungan seperti ini juga lebih berisiko mengalami masalah tumbuh kembang, kesehatan, serta emosional akibat stigma dan ketidakjelasan struktur keluarga.