Contoh praktek-praktek attoriolong tersebut seperti mappanre galung (memberi makan sawah), maccera tasi' (memberi persembahan pada laut), massorong sokko patanrupa (memberikan persembahan kepada dewa berupa empat macam beras ketan) dan lain sebagainya.
Adapun masyarakat yang hingga kini masih memegang teguh kepercayaan Attoriolong ini terdapat di komunitas tolotang di Kabupaten Sidrap dan Komunitas Ammatoa Kajang di Bulukumba.
Baca Juga:
140 Pengikut Jamaah Islamiyah Sulawesi Membubarkan Diri, Ikrar Kembali ke NKRI
Bahasa dan Aksara Suku Bugis
Tak banyak suku di Indonesia yang memiliki bahasa sekaligus aksara tulisannya sendiri. Suku Bugis termasuk salah satu suku bangsa yang memiliki aksara dan bahasa.
Dalam hal bahasa, Suku Bugis memiliki bahasa tersendiri yang yaitu Bahasa Bugis (basa ogi). Bahasa Bugis ini memiliki beragam dialek tergantung wilayah masing-masing.
Baca Juga:
Imbas Hilirisasi, Bahlil Sebut 54 Persen Warga Morowali Kena Asma
Menurut Laman Peta Bahasa Kemendikbud ada 27 dialek dari bahasa Bugis ini. Diantaranya dialek Bone, dialek Pangkep, dialek Soppeng, dialek Pinrang, dialek Sinjai dan lain sebagainya.
Selain di daerah Sulawesi, penutur Bahasa Bugis juga tersebar di beberapa daerah lain seperti Kepulauan Seribu Jakarta, Jambi, Kalimantan Selatan dan Timur, Bali, Lampung, dan NTB. Masing-masing daerah tersebut juga memiliki ragam dialek yang berbeda-beda.
Sementara pada tulisan, itu suku Bugis memiliki aksara khusus yang disebut dengan aksara lontara. Pada zaman dahulu, naskah-naskah lontara yang berisi nasihat atau mantra-mantra ditulis di atas daun lontar. Karena itu aksara tersebut disebut dengan aksara lontara.