WahanaNews.co | Jika
diposisikan di tempat yang tidak tepat, mural jadi hal yang mengganggu bahkan
dilarang. Padahal, mural menyimpan banyak cerita di zaman perang kemerdekaan
Indonesia.
Baca Juga:
Percepat Target Transisi Energi, PLN Siap Kembangkan Sejumlah Skenario Agresif
Tan Malaka menjadi pionir dengan menjadikan mural sebagai
senjata untuk melecutkan semangat perjuangan bangsa Indonesia yang baru
merdeka.
Tahun 1945, di sepanjang jalan penuh dengan tulisan moral
dan perjuangan. Harry Poeze dalam bukunya berjudul Tan Malaka, Gerakan kiri,
dan revolusi Indonesia: Agustus 1945-Maret 1946, Jilid pertama yang diterbitkan
tahun 2008, menjelaskan tentang situasi pasca kemerdekaan. "Kota-kota
mulai dipenuhi dengan pamflet dan coretan-coretan tembok, menggelorakan
semangat perjuangan untuk melawan musuh" tulisnya.
Tan Malaka dianggap sebagai aktor yang menggelorakan
semangat perjuangan melalui mural. Ia mengajak segenap pemuda untuk
"menggoreskan" pekikan kemerdekaan di tembok-tembok jalanan. Dengan bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris, kalimat-kalimat penyemangat dituliskan oleh
mereka. Semua terjadi pasca Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Semangat
nasionalisme coba dibangkitkan melalui mural.
Baca Juga:
Percepat Target Transisi Energi, PLN Siap Kembangkan Sejumlah Skenario Agresif
Harry Poeze dalam tulisannya menyebutkan, "Ahmad
Soebardjo meminta nasihat kepada Tan Malaka untuk melakukan propaganda dengan
semboyan-semboyan menggelorakan perjuangan". Tan Malaka kemudian melibatkan
para pemuda untuk melakukan aksi mural dan coret-coret di jalanan, serta
menyebar pamflet di mobil dan kereta yang bergerak ke luar Jakarta.
"Semangat mati-matian ditunjukkan para pemuda untuk melawan musuh"
tulisnya.
Lasarus dalam karyanya berjudul Perjuangan Seniman Lukis
Pada Masa Revolusi Fisik di Yogyakarta, yang dipublikasi pada 2009, menjelaskan
tentang peranan seniman lukis dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia yang
baru merdeka. "Terdapat pengaruh yang datang dari Jakarta, sampai ke Yogyakarta.
Kereta api dan mobil angkutan umum datang dengan slogan perjuangan"
tulisnya.
"Mural kemudian dilakukan di tembok-tembok jalan,
rumah-rumah, sampai kepada toko-toko, dengan menggunakan cat minyak"
tambah Lasarus. Para seniman Yogyakarta yang tergabung ke dalam Persatuan
Tenaga Pelukis Yogyakarta (PTPY), melakukan aksi coret-coret di gedung kantor
pos besar, tembok sepanjang Jalan Malioboro, pagar hotel Garuda, dan beberapa
titik lainnya.
"Coretan dinding dibuat artistik (pelakunya seniman),
bertuliskan "Sekali Merdeka Tetap Merdeka, Merdeka atau Mati, Lebih Baik Mati
Daripada Dijajah Lagi, Pertahankan Bendera Kita!"", tulis Lasarus.
Selain mural dengan pekikan semangat berbahasa Indonesia,
dibuat juga mural berbahasa Inggris. Ekspresi luapan semangat bertuliskan Away
with NICA, We Fight for Democracy, Once Free Forever Free, We Have Only to
Win!, Life, Liberty and Persuit to Happiness, tergambar dihampir seluruh
penjuru Kota Yogyakarta.
Mohammad Yamin, selaku pelaku sejarah, mengenang
dalamProklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia terbitan 1952, tentang slogan
yang mengena baginya dan mungkin sebagian besar yang membacanya. Menurutnya,
coretan bertuliskan Respect Our Constitution, August 17! merupakan coretan
dengan makna mendalam, mengingat adanya upaya Belanda dan Sekutu untuk kembali
ke Indonesia pasca konstitusi 17 Agustus telah berdiri tegap.
Tulisan tersebut, mengandung arti teriakan bangsa Indonesia
kepada Jepang dan Belanda-Inggris untuk menghargai dengan tidak melanggar
konstitusi. "Teriakan ini berisi peringatan kepada Belanda-Inggris yang
hendak mendaratkan kapalnya untuk melakukan agresi" tulis Yamin.
Coretan-coretan dinding menjadi bukti gelora semangat
segenap bangsa di tahun 1945-1946. Nasionalisme tergambar pada goresan cat
minyak yang tertuang menggoretkan setiap hurufnya. Menandakan semangat
perjuangan, begitu juga saat tiba Belanda-Inggris mengancam kedaulatan, segenap
bangsa telah sepakat dengan persatuannya melawan mereka sampai titik darah
penghabisan. [rin]