Oleh: Drs. Thomson Hutasoit
Baca Juga:
Mama Dada Mu Ini Dada Ku
Na malo Dang Tarparsiajaran, Na Oto Dang Tarajaran
dalam bahasa Indonesia diartika Pintar Tak Bisa Dipelajari, Bodoh Tak Bisa Diajari.
Fenomena kekinian era milenia adalah munculnya karakter dan
perilaku merasa diri pintar dan cerdas tanpa mau belajar dengan baik dan benar.
Baca Juga:
Perseteruan Kandidat Penghuni Sorga
Dan paling menggelikan sekaligus memalukan muncul perilaku
memosisikan diri monopoli kebenaran atas segala sesuatu tanpa mempelajari
terlebih dahulu mendalam dan mendetail agar tidak asal bunyi (asbun) atau asal
ngomong tanpa basis argumentasi bisa dipertanggungjawabkan.
Jika diperhatikan cermat dan seksama di era teknologi
digital muncul berita dan pendapat aneka ragam yang menghiasi media sosial (fb,
wa, instagram, tweeter, vlog, video, live streaming, dll) yang bahas berbagai
issu, informasi, opini, berita tanpa akurasi dapat dipertanggungjawabkan
sehingga menjadi hoax atau bohong, fitnah, hasut, hujat, provokasi, agitasi,
ujaran kebencian yang dapat terjerat ranah hukum.
Rendahnya tingkat minat baca dan literasi sesungguhnya
sangat berkorelasi dengan tingkat pendidikan masyarakat dan bangsa.
Sebagaimana data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia
sangat memprihatinkan, hanya 0,001 persen.
Artinya, cuma 1 orang dari 1.000 orang yang rajin membaca
(Google) sejatinya mencerminkan betapa rendahnya tingkat ilmu pengetahuan dan
teknologi (Iptek) masyarakat Indonesia hingga kini.
Sensus pendidikan 2020 mencatat hanya 8,5 persen penduduk
Indonesia tamat kuliah selebihnya masih tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas
(SLTA), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), Sekolah Dasar (SD), , bahkan
masih banyak tidak tamat SD.
Program pemerintah Wajib Belajar Sembilan (9) tahun (SLTP)
dan Wajib Belajar 12 tahun (SLTA) hingga kini masih belum tuntas menggambarkan
bahwa agenda pemerintah mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai amanat Pembukaan
UUD RI 1945 masih merupakan agenda prioritas nasional dan daerah untuk
melahirkan sumber daya manusia (SDM) unggul berdaya saing mengelola sumber daya
alam (SDA) melimpan ruah anugerah Tuhan Yang Maha Esa bagi bangsa Indonesia.
Sementara 5 negara dengan budaya Membaca dan tingkat
Literasi Tinggi adalah Finlandia, Belanda, Swedia, Australia, Jepang (Bisnis.
com, Jakarta, 18 Nei 2020).
J. Robert Oppenheimer (1945) mengatakan, "Tidak mungkin
menjadi ilmuwan kalau Anda tidak yakin bahwa belajar itu baik".
Ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) adalah jendela dunia,
dan kekuatan maha dahsyat mengubah wajah dunia dari kegelapan menjadi terang
dan super canggih.
Ada ungkapan Batak Toba mengatakan, "Ijuk di parapara
hotang di parlabian, na bisuk nampuna hata na oto tu pargadisan" bermakna
orang pintar punya bahasa, orang bodoh terjual. Atau sate soto mate na oto.
Di era revolusi industri 4.0 atau era teknologi digital
kekuatan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) semakin terasa betapa
pentingnya menguasai aneka ragam ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) dan
ketrampilan (skill) agar tidak tersapu kemajuan zaman semakin maju dan canggih.
Tanpa penguasaan Iptek maka manusia akan tertutup kesempatan
di segala bidang kehidupan serta mengalami "kiamat" mengejar
cita-citanya di era milenia.
Era korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) telah berubah ke era
kompetensi, profesional, integritas meraih prestasi dan kesempatan menorehkan
karier di tengah masyarakat, bangsa dan negara.
Karena itu, satu-satunya kunci utama meraih sukses dan
cita-cita tidak lain tidak bukan hanyalah belajar....belajar....dan
belajar....dengan sungguh-sungguh sesuai dengan minat dan bakat serta animo
masyarakat ataupun pasar tenaga kerja.
Kembali ke judul tulisan "Na malo dang tarparsiajaran,
Na oto dang tarajaran" (pintar tak bisa dipelajari, bodoh tak bisa
diajari) adalah karakter dan perilaku negatif dan buruk dari seseorang sehingga
muncul sikap, sifat merasa paling pintar (pantang so malo, pamalomalohon, pantang
so bilak, pabilakbilakhon) tak bisa dipelajari, ditiru dan digugu karena tidak
dilandasi basis ilmu pengetahuan kuat, baik dan benar.
Na malo dang tarparsiajaran ialah orang merasa pintar tanpa
basis ilmu pengetahuan memadai, tapi sering merasa diri paling hebat daripada
orang lain tanpa kompetensi mumpuni.
Sedangkan Na oto dang tarajaran ialah orang tak bisa dan mau
diajari karena merasa diri telah pintar dan cerdas sehingga tak perlu lagi
belajar dari orang dan/atau pihak lain.
Padahal, prinsip belajar ialah semakin banyak yang saya tahu
semakin banyak yang tidak saya tahu.
Karena itulah manusia belajar sepanjang hidup (long life
education) untuk mengikuti perkembangan kemajuan semakin canggih.
Kearifan budaya (culture wisdom) leluhur Batak Toba tetap up
to date di era milenia di implementasikan dalam hidup sehari-hari agar karakter
mental, moral, perilaku buruk dapat dihindarkan dan dihilangkan dalam upaya
membangun manusia-manusia unggul, berdaya saing, baik regional maupun global.
Tidak boleh alergi terhadap kearifan budaya Nusantara dengan
alasan out of date karena Indira Gandi (1974) mengatakan, "Tidak semua
yang modern itu baik, demikian juga tidak semua yang lama itu baik atau buruk."
Medan 23 Juli 2021. (tum)
Penulis adalah serorang pemerhati pembangunan sosial
budaya dan penulis buku