Di Tepi Barat sendiri, tindak kekerasan meningkat sejak perang berkecamuk di Jalur Gaza. Menurut otoritas kesehatan setempat, lebih dari 290 warga Palestina di Tepi Barat tewas dibunuh oleh tentara atau pemukim radikal Israel.
Pada tahun-tahun normal, menurut seorang pemilik toko souvenir yang bernama Abooh Suboh (30), Bethlehem biasanya menjadi "kota yang penuh dengan orang, penuh dengan turis". Toko Suboh yang menjual syal kasmir dan tas kulit tampak kosong pada akhir tahun ini.
Baca Juga:
Sekjen PBB Kutuk Siklus Tindakan Pembalasan Israel Serang Iran
"Perang ini menghentikan segalanya," ucapnya.
Para pemimpin-pemimpin gereja di Yerusalem dan dewan kota Bethlehem telah mengambil keputusan, sejak bulan lalu, untuk tidak menggelar perayaan Natal yang "tidak perlu" sebagai bentuk solidaritas untuk warga di Jalur Gaza.
Patriark Latin Yerusalem tetap akan datang untuk menyampaikan khotbah tengah malam yang secara tradisi digelar pada Malam Natal. Namun dengan banyaknya peziarah yang menghindari Bethlehem saat ini, dan akses ke kota itu yang dibatasi oleh Israel, jumlah jemaat yang hadir kemungkinan akan berkurang.
Baca Juga:
Dukung Serangan Balasan ke Israel, Iran Gelar Aksi Unjuk Rasa
Sementara itu, seorang pendeta Palestina bernama Dr Munther Isaac dari Gereja Evangelis Lutheran di Bethelehem menciptakan adegan palungan saat kelahiran Yesus dengan menggambarkan bayi Yesus dikelilingi oleh puing-puing.
"Kami melakukan ini untuk diri kami sendiri, untuk menekankan bahwa Yesus ada dalam solidaritas dengan mereka yang menderita," ucapnya.
"Yesus menyertai kita dalam penderitaan kita, ketika kita menjadi korban marginalisasi dan ketidakadilan. Ini adalah Natal bagi kita. Dan saya berharap Anda memikirkan arti sebenarnya dari Natal saat Anda merayakannya dengan cara Anda sendiri," ujar Dr Isaac dalam pernyataannya.