WahanaNews.co | Dalam aksi pemberontakan anti-kolonial pada 5 Februari 1933, para prajurit laut Indonesia berhasil merebut kapal De Zeven Provinciën.
Kapal tersebut merupakan kapal perang terbesar milik pemerintah Hindia-Belanda, yang kemudian menjadi simbol nama aksi bersejarah itu, “Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi”.
Baca Juga:
2 Personel Polres Merangin Curahkan Prestasi Pada Kejuaraan Dandim Cup 0416 Bute Shokaido Open - Festival Sesumatra 2024
Kapal perang De Zeven Provinciën menjadi sasaran pemberontakan oleh pelaut-pelaut Indonesia karena menjadi kapal kebanggaan pemerintah Belanda.
Sebab, kapal ini dirancang khusus dengan segala perlengkapan memadai untuk keperluan perang.
Di sisi lain, bahtera besar yang berada di atas kapal, difungsikan sebagai tempat karantina bagi sejumlah marinir dari bangsa Eropa, Belanda, dan pribumi.
Baca Juga:
Residivis Curanmor Berhasil Diringkus Tim Elang Sat Reskrim Polres Merangin, 3 Unit R2 Turut Disita
Melansir Random de Rondom de Muiterij op De Zeven Provinciën (1934), JC Mollema mengungkapkan bahwa kapal perang itu juga berguna untuk tempat pelatihan marinir.
Mereka yang berlatih, adalah prajurit laut Indonesia yang telah merampungkan Pendidikan Dasar Pelaut Bumiputera di Makassar, Sulawesi Selatan.
Asal-usul penamaan De Zeven Provinciën, atau dalam bahasa Indonesia “Tujuh Provinsi”, diketahui mengacu pada bentuk konfederasi negara Belanda yang terdiri atas tujuh provinsi otonom.
Mulanya, kapal ini dibangun pada 1664-1665 oleh rancangan Shipbuilder Salomon Jansz van den Tempel untuk keperluan Admiralty of de Maeze di Rotterdam, Belanda.
Dilansir dari laman military-history.fandom.com, De Zeven Provinciën yang menjadi kapal andalan Laksamana Michiel de Ruyter ini berukuran panjang 151 kaki, dengan lebar 40 kaki (12 meter).
Di dek bawah, kapal ini dipersenjatai 12 36-pdrs dan 16 24-pdrs, serta 14 18-pdrs dan 12 12-pdrs di dek atas.
Pun terdapat 76 senjata rakit tambahan sebagai amunisi.
Oleh Laksamana De Ruyter, kapal tersebut digunakannya selama Perang Inggris-Belanda III pada 1672-1673.
Kapal ini bertugas melawan armada gabungan Inggris dan Perancis dalam empat kali pertempuran besar.
Saat pertempuran Barfleur dan La Hogue tahun 1692, kapal itu sempat rusak parah tetapi berhasil diperbaiki kembali.
Tercatat dalam sebuah artikel berjudul “Karena Seven Proviencien dan Ordonansi Golongan Belanda Tjemas dan Beraksi” dalam koran Medan Ra’jat edisi 4 Februari 1933, kapal ini pernah dikuasai oleh prajurit laut Indonesia.
Aksi perebutan kendali kapal itu, dimaksudkan sebagai aksi protes terhadap kebijakan pemotongan upah sebesar 17 persen oleh pemerintah Hindia Belanda.
Aksi pemberontakan yang dikenal sebagai Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi itu, dilakukan oleh orang-orang pribumi, di antaranya yakni Paradja, Romambi, Gosal, dan Kawilarang.
Serta, dibantu oleh awak kapal berdarah Belanda yang berpihak ke Indonesia.
Namun, selang lima hari dari peristiwa itu, Belanda kembali mengambil alih kapal De Zeven Provinciën di Selat Sunda. [dhn]