WahanaNews.co | Untuk pertama kalinya setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus penipuan lewat platform Quotex, Doni Salmanan muncul ke hadapan publik, mengenakan baju tahanan oranye.
Dalam konferensi pers Bareskrim Polri pada Selasa, 15 Maret 2022 lalu, pria yang memiliki nama asli Doni Muhammad Taufik meyampaikan penyesalan serta meminta maaf kepada masyarakat.
Baca Juga:
Dikira Bakal Bebas, Istri Doni Syok Dengar Vonis Hakim
Tak hanya meminta maaf, Doni Salmanan juga berharap hukuman yang nantinya dapat diringankan.
"Dan kedua saya juga memohon doa kepada teman-teman semua di seluruh Indonesia ini agar sanksi terhadap saya bisa diringankan," pintanya.
Tak butuh waktu lama, video yang menayangkan permintaan maaf Doni dalam konferensi pers langsung menyebar dan viral di media sosial.
Baca Juga:
Doni Salmanan Tidak Harus Ganti Rugi Kepada Para Korban dalam Kasus Investasi Opsi Biner
Namun, alih-alih mendapat dukungan, suami dari Dinan Fajrina ini justu mendapat komentar negatif dari netizen lantaran permintaan maafnya dianggap tidak menunjukkan rasa penyesalan.
Menurut Psikolog Harriet Lerner yang juga menulis Why Won't You Apologize: Healing Big Betrayals and Everyday Hurts, memberikan pandangannya mengenai hal ini.
Menurut dia, ada banyak dari kita yang belum memahami cara meminta maaf yang benar.
Padahal, cara meminta maaf yang buruk seperti tidak jelas, mengganggu, menuntut, atau penuh peringatan malah bisa memperparah hubungan dengan orang yang kita lukai.
Selain itu, Lerner mengatakan, permintaan maaf yang baik merupakan kesempatan untuk menunjukkan tanggung jawab.
Pemintaan maaf yang baik juga tidak disertai usaha menghindar, menyalahkan, membuat alasan, atau menggali kesalahan masa lalu.
Bahkan, menurut dia, permintaan maaf yang baik dapat mengubah hubungan ke arah yang lebih baik pula.
Lantas, bagaimana seharusnya meminta maaf dengan baik?
Jangan defensif
Menurut Lerner, tubuh kita selalu otomatis melakukan pertahanan saat mendengar sesuatu yang tak kita inginkan.
"Kita mendengar apa yang tidak kita setujui agar kita dapat melindungi diri, dan meluruskan fakta,” ujar dia.
Untuk itu, dia menyarankan agar kita tetap berpikiran terbuka dan mendengarkan lawan bicara dengan niat eksplisit untuk memahami.
"Cobalah untuk memberikan perintah pada otak tentang apa yang dibutuhkan pihak yang terluka itu,” ujar dia.
Sungguh-sungguh
Saat meminta maaf karena suatu kesalahan, penting untuk menunjukkan rasa penyesalan yang nyata.
Selain menunjukkan kerentanan, menunjukkan rasa peyesalan juga membuat kita terlihat berani.
Tidak ada kata “jika” atau “tapi”
Permintaan maaf yang tulus tidak perlu peringatan atau kualifikasi.
Nah, kata 'tapi' hampir selalu menandakan adanya rasionalisasi, kritik, atau alasan.
Jadi, meski apa yang kita katakan setelah kata “tapi” itu benar, dengan mengatakannya akan membuat permintaan maaf kita terasa salah dan tak berguna.
Jangan berlebihan
Buatlah permintaan maaf singkat dan jangan berlebihan, sampai merusak barang teman jika kita lupa mengembalikan barang miliknya-misalnya.
Permintaan maaf yang berlebihan tidak hanya menjengkelkan, namun juga akan mengganggu alur percakapan, dan mengalihkan fokus dari sasaran kita.
Tetap fokus
Saat meminta maaf, perhatian kita seharusnya berfokus pada dampak kata-kata atau perbuatan, bukan pada niat kita.
Jadi, perhatikan situasi yang ada, dan tetaplah fokus pada kebutuhan orang yang terluka.
Bukan kata 'maaf' yang menyembuhkan luka," ungkap Lerner. "Namun, pihak yang terluka ingin tahu bahwa kita benar-benar mengerti dan memvalidasi perasaan dan perhatian mereka,” tambah dia.
Permintaan maaf yang baik adalah awal
Dalam bukunya, Why Won't You Apologize, Lerner mengingatkan, permintaan maaf bukanlah satu-satunya kesempatan untuk mengatasi masalah awal dengan pihak yang terluka.
“Permintaan maaf adalah kesempatan untuk membangun landasan bagi komunikasi di masa depan," tulis Lerner.
Ingat, permintaan maaf merupakan awal. Jadi, ketika dilakukan dengan perhatian dan hati-hati, permintaan maaf itu bisa memperdalam hubungan. [qnt]