WAHANANEWS.CO, Jakarta - Greenland, yang sering disebut sebagai "daratan hijau," terletak di Samudra Atlantik Utara.
Lebih dari 80 persen wilayahnya diselimuti oleh lapisan es tebal yang membuatnya menjadi salah satu tempat paling ekstrem di dunia.
Baca Juga:
Demi Keamanan dan Ekonomi AS, Trump Siap Rebut Terusan Panama dan Greenland Pakai Militer
Meskipun demikian, Greenland tetap memiliki sejarah dan keunikan yang menarik untuk dipelajari.
Pulau Terbesar di Dunia
Dengan luas wilayah mencapai 2,16 juta kilometer persegi, Greenland memegang predikat sebagai pulau terbesar di dunia.
Baca Juga:
Hadapi Krisis Iklim Global di NTT, VCA Gelar Dialog Publik Bertajuk "Suara Bae Dari Timur"
Secara administratif, pulau ini merupakan bagian dari Kerajaan Denmark, tetapi Greenland memiliki otonomi pemerintahannya sendiri.
Status ini memungkinkan mereka untuk mengelola berbagai aspek kehidupan domestik, meskipun urusan luar negeri dan pertahanan tetap berada di bawah kendali Denmark.
Selain itu, Greenland terkenal dengan lapisan es yang menutupi sebagian besar daratannya. Rata-rata ketebalan lapisan es ini mencapai 1.500 meter, dan pada beberapa titik, ketebalannya bisa mencapai 3.000 meter.
Lapisan es Greenland adalah salah satu penanda penting perubahan iklim global karena mencairnya es di wilayah ini memiliki dampak signifikan terhadap kenaikan permukaan laut dunia.
Sejarah Nama "Greenland"
Meski lebih dikenal sebagai daratan bersalju, Greenland mendapatkan namanya dari sejarah panjang bangsa Viking.
Pada tahun 982, seorang pemukim Viking asal Islandia bernama Eric the Red diasingkan ke pulau ini. Saat menjelajahi bagian barat pulau, ia menemukan wilayah yang dipenuhi rerumputan hijau. Eric kemudian menamakan pulau tersebut "Greenland" atau "Tanah Hijau."
Penamaan ini bukan tanpa alasan. Bangsa Viking dikenal memiliki kebiasaan memberi nama sesuai dengan apa yang mereka lihat.
Namun, Eric memiliki tujuan lain: ia ingin menarik perhatian pemukim lain untuk datang ke pulau tersebut, sehingga tidak terlalu banyak orang yang bermukim di Islandia, yang saat itu juga hijau.
Kondisi Iklim di Masa Viking
Ketika bangsa Viking pertama kali tiba di Greenland, kondisi iklim di wilayah selatan pulau ini jauh lebih hangat dibandingkan saat ini.
Data dari inti es dan cangkang moluska menunjukkan bahwa antara tahun 800 hingga 1300 M, Greenland memiliki iklim yang memungkinkan peternakan domba dan pertumbuhan tanaman seperti kentang. Oleh karena itu, nama Greenland dianggap masuk akal pada masa tersebut.
Namun, pada abad ke-14, suhu di Greenland mulai menurun drastis. Penurunan suhu ini mengakibatkan musim panen yang lebih pendek dan peningkatan jumlah es laut, sehingga wilayah tersebut semakin tertutup salju.
Greenland di Masa Purba
Para ilmuwan juga menduga bahwa Greenland benar-benar hijau sekitar 2,5 juta tahun lalu. Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa tanah purba di bawah lapisan es Greenland telah terbekukan secara kriogenik selama jutaan tahun.
Lapisan tanah tersebut kini tersembunyi di bawah lapisan es setebal hampir dua mil. Penemuan ini memberikan gambaran bagaimana Greenland pernah menjadi daratan yang lebih hijau sebelum perubahan iklim ekstrem melanda.
Kehidupan dan Transportasi di Greenland
Dengan mayoritas wilayahnya yang tertutup es, Greenland memiliki tantangan tersendiri dalam hal transportasi. Tidak ada jalan raya atau sistem kereta api yang menghubungkan satu wilayah dengan wilayah lainnya.
Jalan raya hanya terdapat di pinggiran kota, dan perjalanan antarkota dilakukan menggunakan pesawat, kapal, helikopter, mobil salju, atau kereta luncur.
Kapal menjadi moda transportasi yang paling populer di kalangan penduduk lokal. Selain itu, kereta luncur yang ditarik oleh anjing-anjing husky juga merupakan alat transportasi tradisional yang masih digunakan, terutama di wilayah pedalaman.
Greenland bukan hanya daratan bersalju yang dingin, tetapi juga menyimpan sejarah, budaya, dan lanskap yang unik.
Pulau ini menjadi saksi perubahan iklim global, sekaligus menyimpan misteri masa lalu yang terus menarik perhatian para ilmuwan dan wisatawan dari seluruh dunia.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]