WahanaNews.co |
Ada sejumlah hal yang selalu diingat dan diceritakan Seth
Tibbott, pengusaha makanan nabati di Amerika Serikat (AS), saat memulai usahanya
lebih dari 40 tahun lalu.
Beberapa hal itu termasuk "rumah
pohon", tempat tinggalnya selama bertahun-tahun untuk menghemat biaya
serta keputusan menguras tabungannya saat itu sebanyak 2.500 dollar AS (Rp 37
juta) sebagai modal usaha mendirikan perusahaan yang menghasilkan produk
nabati, Tofurky.
Baca Juga:
Guru Besar IPB: Manfaat Tempe Fermentasi Kedelai untuk Kesehatan Tubuh
Satu hal lain yang ia katakan menjadi titik
balik usahanya adalah Malang.
Kota di Jawa Timur ini, kata Seth, menjadi
inspirasinya untuk mencari tempat di luar kota yang cocok untuk memproduksi
tempe.
"Saya baca tentang Malang dari buku Tempe oleh Bill Shurtleff. Saya kagum
dengan tebalnya tempe yang diproduksi di sana dan bahwa kawasan itu terkenal
membuat tempe dengan kualitas tinggi dengan lokasi di daerah pedesaan,"
kata Seth kepada BBC News Indonesia.
Baca Juga:
2 Siswa Indonesia Kenalkan Mesin Pengolah Tempe di Austria
"Cerita ini yang menginspirasi untuk
memulai memproduksi tempe dengan pindah dari kota besar, ke kota kecil dengan
hanya kurang dari 100 jiwa penduduk, dan terletak 90 menit dari Portland,
dengan udara dan air bersih," cerita Seth.
Yang dipilihnya menjadi tempat produksi adalah
gedung sekolah yang tak lagi digunakan di kota kecil Husum, Washington.
"Saya memproduksi tempe di sana selama 10
tahun dengan hanya sedikit karyawan," kenang Seth.
"Sayangnya saya belum pernah ke Malang,
tapi semoga suatu saat nanti saya bisa ke sana," kata Seth lagi.
Ia mengatakan, terakhir kali berkunjung ke
Indonesia pada 2019.
Selama masa produksi tempe di tempat itu, salah
satu momen yang paling dikenangnya adalah menyediakan tempe untuk acara yang
dihadiri ribuan orang.
"Ketika itu ada kelompok spiritual yang
datang ke saya dan memesan 1.000 kilogram tempe untuk acara besar mereka. Saya
terima pesanan itu," kisahnya.
Dua bulan kemudian, 10.000 orang makan tempe
dengan resep asam manis, dan sangat menakjubkan.
"Saya masih yakin, acara itu adalah
pesanan tempe terbesar yang pernah saya kerjakan di Amerika. Itulah acara
dengan menu tempe terbanyak dalam sejarah Amerika!" tandasnya.
Tempe adalah produk pertama yang ia buat untuk
makanan nabati dan sampai saat ini ia sebut tetap menjadi "salah satu
produk favoritnya."
Saat ini, produk nabati yang dibuat dengan
bungkus Tofurky terdiri dari berbagai
jenis makanan dan tersebar di setidaknya 27.000 toko dan supermarket.
Tofurky hanya memiliki satu pabrik --dengan
menggunakan energi tenaga surya-- di Oregon dengan pekerja sekitar 200 orang
dan salah satu produk yang paling laku adalah kalkun panggang dan sosis,
tentunya semua dari nabati.
Usaha keluarga yang sudah berumur 40 tahun
lebih ini, menurut Forbes,
diperkirakan memiliki pendapatan sekitar 50 juta dollar AS dan tetap independen,
tanpa genjotan modal dari pihak lain.
Tofurky, masih menurut Forbes, merupakan salah satu bisnis makanan nabati yang paling lama
di AS dengan produk pengganti daging berbasis kedelai.
Produk nabati sangat populer terutama pada
peringatan hari Thanksgiving dengan
menu utama kalkun dan banyak yang menyebut Tofurky
adalah nama campuran antara turkey
(kalkun) dan tofu (tahu).
Pada November 2018 lalu, Tofurky merayakan
pembelian lima juta "kalkun panggangnya".
Menurut data dari Good Food Institute, penjualan makanan nabati pengganti daging
meningkat 27 persen dalam setahun terakhir ini menjadi 7 miliar dollar AS,
dengan jumlah keluarga yang membeli sekitar 15 juta.
Fenomena Aneh di AS
Langkah awal memulai bisnis makanan nabati,
kata Seth Tibbott, dimulai setelah apa yang ia sebut "fenomena aneh 41
tahun lalu dengan munculnya toko-toko yang menjual tempe di Amerika
Serikat."
"Saya jatuh cinta dengan tempe tiga tahun
sebelumnya dan sudah yakin tempe akan menjadi sesuatu yang besar karena rasanya
yang enak, bergizi dengan tekstur bagus," katanya.
Pengalaman awalnya membuat tempe dimulai
melalui kelompok "vegetarian dengan anggota 1.200 orang" yang tinggal
dalam satu komunitas yang disebut The
Farm.
Kelompok yang hanya makan produk nabati dan
sama sekali tidak menyentuh produk dari hewan termasuk susu dan telur, mengolah
berbagai makanan termasuk tahu, susu kedelai dan juga tempe.
Mereka menjual cara membuat tempe seharga 3
dollar AS dan dari sinilah pengalaman Seth membuat tempe bermula.
"Saat itu saya tinggal di tenda dan saya
pakai kompor seadanya di luar tenda. Iklim di Tennesse (tempat tendanya) saat
musim panas sangat mirip di Indonesia, jadi cocok untuk membuat tempe,"
katanya.
"Fermentasi tempe saya lakukan di panci
yang saya letakkan di atas kursi di luar pada malam hari. Keesokan harinya, di
atas kedelai terbentuk lapisan putih. Saya senang... dan saya suka sekali
dengan tempe saya," tambahnya.
Sejak pengalaman pertama membuat tempe pada
1977 itu, kata Seth, dia mulai membuat satu kilogram.
Kata dia, "Saya sudah terpikir, tempe
memiliki potensi untuk berhasil di Amerika."
Semua tabungannya ia gunakan untuk membeli
berbagai perlengkapan dan memproduksi sekitar 50 kilogram tempe per malam, di
tempat awalnya, menyewa dapur Hope Co-op
Natural Foods di dekat Portland, Oregon, yang digunakan setelah cafe itu tutup.
Sejumlah pelanggan pertamanya, kata Seth,
termasuk "orang-orang Indonesia yang tinggal di Portland, Oregon. Saya
antar tempe ke rumah-rumah mereka dan mereka senang."
"Setiap minggu, saya juga mengirim tempe
ke toko-toko dan restoran di kawasan Portland. Tiga bulan setelah mulai, saya
dapat telepon dari distributor yang ingin memesan sekitar 500 kilogram tempe
setiap minggu," kata Seth.
Dari sinilah ia mulai mencari tempat baru dan
membaca tentang produksi tempe di Malang.
Produksi tempe di Husum, berlangsung selama 10
tahun, masa yang menurut Seth, tak begitu menguntungkan.
"Saya hidup dengan sekitar 300 dollar AS
per bulan. Untuk menekan biaya, saya menyewa empat pohon dari tetangga, dan
saya bangun rumah pohon dan di situlah saya tinggal selama tujuh tahun,"
cetusnya.
Namun dia mengatakan, saat itu adalah
"tahun-tahun yang mengasyikkan karena saya mengerjakan sesuatu yang saya
senangi dan saya membawa tempe ke Amerika. Namun setiap tahun, keuntungan
sedikit bertambah besar," ceritanya.
Tahun-tahun pertama membuat tempe juga sulit,
kata Seth, karena tak banyak orang yang tahu apa itu tempe.
"Saya ke toko-toko dan masak tempe agar
mereka coba. Saya jadi mahir masak tempe dan orang-orang suka. Setiap tahun
bisnis ini berkembang sedikit demi sedikit... Dengan hanya tiga atau empat
orang, penghasilan saya juga sedikit dan hanya cukup untuk membayar gaji.
Secara total dalam hampir 10 tahun usaha, penghasilan hanya 31.000 dollar AS
(Rp 443 juta)," katanya lagi.
"Dan kalau kita majukan sekarang, (dari
awal memproduksi 50 kilogram)... sekarang kami produksi 6.000 kg tempe setiap
hari. Pasar ini masih kecil bila dibanding dengan pasar burger tanpa daging, namun berkembang lebih dari 30 persen tiap
tahun, pertanda bagus bahwa orang Amerika menikmati tempe," imbuhnya.
"Dan sekarang, tempe bisa dibeli di
mana-mana di Amerika. Saya percaya, tempe memiliki masa depan sangat cerah di
Amerika dan seluruh dunia," tutupnya. [qnt]