Oleh NOVITA DEWI
Baca Juga:
Operasi Seroja Timtim: Komandan Pasukan Gugur di Pelukan Prabowo
JIKA ditanya tentang Budi
Darma, akan dengan cepat kita menyebutkan Olenka atau Orang-orang Bloomington.
Selain kedua mahakarya tersebut dan buku-buku kumpulan
cerpennya yang kerap memenangi penghargaan, Budi Darma telah dengan setia dan
konsisten menemani pembaca pelbagai surat kabar nasional dengan cerpen-cerpen
yang menarik dan bermutu.
Baca Juga:
Saat Teroris Noordin M Top Tewas di Solo
Jumlah sastrawan sekaligus guru besar di bidang sastra
di Indonesia terhitung langka.
Jumlah itu makin menurun dengan berpulangnya Soebakdi
Soemanto, Sapardi Djoko Damono, dan Toeti Heraty, untuk menyebut tiga saja.
Guru besar yang terus-menerus berkarya secara akademik
dan sastrawi hingga maut menjemput barangkali hanya Budi Darma seorang.
Salah satu cerpen yang melekat di hati penulis adalah
"Tukang Cukur".
Cerpen yang dimuat di harian Kompas edisi 11 September 2016 ini berkisah tentang rivalitas seorang tukang cukur yang
mengepalai pembantaian penduduk setiap kali terjadi pergantian kekuasaan.
Darah membangkitkan hasrat tukang cukur ketika tokoh
utama cerpen ini melukai kepala pelanggannya sambil berdalih "melakukan
kesalahan kecil".
Pada September 1948, tukang cukur bersama tentara PKI
melawan Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Ketika pasukan Siliwangi masuk ke kota Kudus, tukang
cukur menyamar sebagai preman yang membantu tentara dari Jawa Barat itu
menghabisi orang-orang PKI.
Ketika diketahui ia membuat daftar orang-orang yang
tak disukai untuk ditembak mati, pasukan Siliwangi menghajarnya habis-habisan
dan tukung cukur pun menghilang begitu saja.
Sepeninggal tentara Siliwangi, militer Belanda
melakukan agresi di Kudus dan tukang cukur menjadi sopir sekaligus kaki tangan
Belanda.
Pada Desember 1949, tentara Belanda ditarik mundur
dari Indonesia.
TNI masuk ke kota Kudus dan tukang cukur menghilang
lagi.
Tak lama setelah itu, bentrokan hebat terjadi lagi
antara tentara pemerintah dan tentara liar yang tergabung dalam Negara Islam
Indonesia (NII).
Sebagian besar tentara NII tewas terjebak di bekas
pabrik rokok Nitisemito.
Di antara reruntuhan dan korban yang bergelimpangan, tergeletak mayat si
tukang cukur.
Relevansi
Meskipun ditulis lima tahun lalu, cerpen Budi Darma
ini tetap menemukan relevansinya hingga sekarang.
Tanpa menggurui, Budi Darma berkisah tentang hasrat
manusia yang berkelindan: rivalitas, balas dendam, dan kekerasan.
Rivalitas mulai muncul ketika seseorang berhadapan
dengan pihak yang berseberangan.
Kekerasan, menurut Girard (1997), menular.
Tukang cukur kita terjangkiti.
Rivalitas makin sengit sepanjang lintasan sejarah
perang sipil PKI-TNI, agresi militer Belanda, dan hengkangnya tentara KNIL dari
Indonesia.
Nafsu tukang cukur untuk mengucurkan darah musuh padam
ketika ia akhirnya gugur sebagai pejuang kelompok subversif NII.
Ia menambah deretan tokoh-tokoh ganjil yang sering
dijumpai dalam karya-karya Budi Darma.
Karena tidak ingin menggurui, Budi Darma memakai Gito,
anak SD dari Desa Getas, Pejaten, di pinggiran Kota Kudus, sebagai pencerita
mahatahu dalam "Tukang Cukur".
Gito mengamat-amati gerak-gerik tukang cukur dan
melaporkannya kepada pembaca.
Budi Darma dengan apik memanfaatkan teori narasi dan
fokalisasi yang antara lain dibidani Gerard Genette.
Pencerita bocah ini bertindak sebagai fokalisator
internal (Rimmon-Kenan, 1994) yang serba tahu dan dapat melihat segalanya,
tetapi pemahamannya terbatas.
Gito tidak paham mengapa tukang cukur begitu haus
darah.
Namun, pembaca paham mengapa sering terjadi
pertumpahan darah.
Di tengah-tengah pandemi yang urung surut, cerpen Budi
Darma ini seakan mengingatkan betapa hinanya manusia yang tega mengorbankan
sesamanya hanya untuk menyelamatkan diri sendiri dan nafsu berkuasa.
Tak Menggurui
Bahwa Budi Darma selama hidupnya menjadi guru yang
tidak pernah menggurui terbukti ketika penulis menerbitkan terjemahan bahasa
Inggris cerpen ini, "The Barber", yang terbit di laman Dalang Publishing, penerbitan
yang berpusat di San Mateo, California, Amerika Serikat.
Penulis begitu gembira menerjemahkan cerpen seorang
penulis besar hingga abai.
Kata duk diterjemahkan menjadi headband.
Penulis mengelirukan duk di leher si tukang cukur dengan
udeng di kepalanya.
Melalui surel tertanggal 12 Oktober 2020, dengan
sangat sopan Profesor Budi Darma bertanya, apakah penulis pernah
memperhatikan Pramuka.
Guru Besar yang rendah hati ini melanjutkan, "Biasanya
tentara mempunyai tiga pilihan mengenai kepalanya, sesuai kondisi lapangannya.
Pertama, kepala dibiarkan tanpa apa-apa, kedua, kepala diberi topi, baret, atau
pet, dan ketiga, kepala diberi topi baja dalam pertempuran terbuka. Dengan
demikian, tentara pada umumnya tidak pernah memakai headband."
Oh, alangkah memalukan!
Cepat-cepat kesalahan itu diperbaiki.
"Pada pemberontakan di Madiun tentara PKI memakai duk merah, dan pada waktu bergabung dengan pasukan NII, afiliasinya dengan
Kartosuwiryo, mereka memakai duk hijau," tambah sang guru
sejati yang berbudi dan berdarma ini.
Penulis mendapatkan pengetahuan berharga dari
kesalahan yang tak seharusnya terjadi.
Selamat jalan menuju ke keabadian, Profesor Budi
Darma. (Novita Dewi, Guru Besar Universitas Sanata Dharma)-qnt
Artikel ini sudah tayang di Kompas.id dengan judul "Sang Guru yang Tak Pernah Menggurui".
Klik untuk baca: www.kompas.id/baca/opini/2021/08/23/sang-guru-yang-tak-pernah-menggurui/.